Kalau sepagi ini terdengar riuh rutinitas di lantai bawah yang asalnya dari ruang dapur, tentulah bukan hal yang lumrah. Masih terlalu pagi. Bahkan terlalu pagi sekadar menjalankan aktivitas semisal mengebulkan asap kompor buat sarapan sekalipun. Tapi hari ini semuanya jadi aneh. Nyaris seluruh penghuni pondokan grasa-grusu seperti hendak menyambut kedatangan makhluk dari Planet Mars. Sibuknya luar biasa.
Acara tidurnya terganggu. Padahal, jarang-jarang ia memiliki waktu luang untuk dipakai tidur senyenyak-nyenyaknya. Masa liburan sebulan sekolah lalu pun tak pernah dikecapnya dengan nyaman seperti gadis-gadis penghuni pondokan lainnya. Sebab ia mesti kerja sambilan untuk menambah biaya sekolahnya. Kesadaran yang datangnya dari lubuk hati atas kondisi keluarganya yang pas-pasan di daerah. Mungkin dia kurang beruntung terlahir dalam keluarga sederhana di Bandung, tapi ia masih tetap bersyukur karena terlahir dalam keadaan sempurna lahir dan batin.
“Ada kejadian apa sih, Al?” tanya Aretha pada Alya, sahabatnya yang tinggal bersebelahan kamar dengannya. Sembari mengucek-ngucek mata, gadis yang masih mengantuk dan sesekali menguap itu bertanya sesaat setelah turun dari lantai atas. “Ada acara makan-makan ya, Al?”
Alya menggeleng cuek. Sama sekali tidak berminat menanggapi kebingungan Aretha. Pertanyaan gadis bertubuh mungil itu dijawabi dengan satu kibasan tangan. Dan gadis tajir asal Palembang itu terus saja bergelut dengan kegiatannya yang super-sibuk di dapur. Membersihkan piring-piring dan gelas-gelas yang sudah berdebu di lemari dapur, satu-satunya aset pondokan yang ditinggal pemiliknya untuk penghuni indekos.
Aretha masih tercenung di ujung tangga setelah turun buru-buru tadi dengan daster yang masih melekat di badan. Alisnya mengernyit. Diliriknya jam dinding yang tergantung di atas bingkai pintu utama pondokan. Jarum panjang masih menunjuk tepat di angka enam. Biasanya juga kalau jam-jam begini gadis-gadis itu masih pada ngorok. Ih, boro-boro bikin sarapan. Menyentuh air di kamar mandi saja rasanya ogah!
Tapi hari ini memang lain. Pasti ada ‘something wrong’. Kalau tidak, mana mungkin nona-nona tajir itu mau kompakan bangun pagi dan bersibuk-sibuk ria dengan senang hati di dapur. Tentu saja. Buktinya tadi, saking sibuknya, Alya yang nyinyir itu malah tidak punya waktu untuk menjelaskan ‘what happen in kitchen’.
“Al…”
“Sori. Gue sibuk.”
“Tapi….”
“Udah deh, Tha. Lu tidur aja sana. Jangan ganggu kita-kita!”
“Gue bantuin, ya?”
“Jangan. Kita-kita di sini nggak butuh PRT lagi.”
Aretha tersenyum geli. “Hei, emangnya gue babu apa?”
Alya hanya tersenyum sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya yang ‘misterius’. Aretha mengedikkan bahunya tanda tidak mafhum. ‘Kita-kita’ yang dimaksud gadis Palembang tadi adalah geng rumpi pondokan; Helen Jelita Datau, Lolita Amar Mahmud, Aulia Elsye Lontoh, Ningsih Primeswara, dan Alya Rahardi. Heh, sejak kapan nona-nona tajir itu tiba-tiba dengan suka rela tanpa dipaksa-paksa mau bekerja ala PRT?
Aretha masih menggeleng tidak mengerti, dan baru saja hendak menapaki undakan naik tangga ketika berpapasan dengan Bik Narti yang berjalan turun dari lantai atas.
“Eh, Bik Nar…,” Aretha mengurungkan niatnya ke lantai atas, hendak meneruskan tidurnya yang terganggu gaduh ‘misterius’ sahabat sepondokannya. Dijawilnya pundak pembantu wanita yang mengurusi keperluan penghuni pondokan.
“Ya, ada apa, Non Aretha?”
“Ada acara apaan sih, Bik Nar? Kok, kelihatannya mereka sibuk banget?”
“Lho, Non Aretha nggak tahu?” Wanita separo baya itu seperti terperanjat. “Apa Non Aretha belum diberitahu sama anak-anak kalau acara siang nanti….”
“Acara?!” Aretha membeliak. “Acara apaaan?!”
“Acara ulangtahun. Kan hari ini ulangtahun Non Aretha?”
“Hah?!” Aretha nyaris terjatuh dari tangga saking kaget. “U-ulangtahun gue?! Ya, ampun!”
“Non Aretha lupa, ya?”
“Tapi, kok mereka yang sibuk sih, Bik Nar?!”
“Ya, tentu saja mereka sibuk, Non Aretha. Soalnya, mereka kan sudah diwanti-wanti sama Den Agung untuk bikin acara ulangtahun Non Aretha hari ini.”
Astaga!
Ia sendiri lupa kalau hari ini merupakan hari ulangtahunnya. Dan cowok bernama AGUNG itu mengingatnya! Bahkan hendak merayakannya secara diam-diam siang nanti untuknya!
“A-Agung?!”
“Ya, Den Agung. Putra sulung Ibu Maya. Non Aretha sudah kenal, kan?”
Kepala Aretha mendadak berdenyar. Dicengkeramnya pegangan tangga erat-erat. Agung?! Agung Sasmita?! Rasa-rasanya kepalanya hendak pecah dipenuhi sepat kenangan lama. Tubuhnya serasa limbung.
“Non Aretha, Non Aretha!” Bik Narti tercenung tidak mengerti. “Non Aretha nggak apa-apa, kan?”
Aretha menggeleng. Meneruskan langkah menuju kamarnya di lantai atas.
***
Bandung kala itu masih menyimpan kenangan manis. Mungkin hal tersebut merupakan euforia cinta masa remajanya. Agung yang merupakan kakak kelasnya suatu ketika mengungkapkan isi hatinya pada seorang gadis bernama Margaretha Zalianty. Namun sayang, kenangan indah cinta mereka tak berlangsung lama. Aretha yang tulus mencintai Agung, dan Agung yang ternyata hanya menomorduakan cinta mereka di bawah prioritas sekolah dan orangtuanya.
“Gue nggak bermaksud nyakitin hati lu, Tha.”
“Tapi, nyata-nyata elu udah melukai hati gue!”
“Gue minta maaf. Tapi gue nggak mau dianggap anak nggak berbakti, Tha. Mending kita backstreet aja. Ini solusi buat ngakalin hubungan kita yang jelas-jelas ditentang sama bokap-nyokap gue.”
“Gue nggak mau main-main dengan cinta kita, Gung! Gue nggak mau backstreet. Lu seperti nggak punya pendirian, Gung! Gue mau hubungan kita ini jelas. Terus atau putus!”
“Tapi….”
Waktu itu Aretha tidak mau berkompromi. Usia dini masa SMP baginya bukanlah alasan kalau cinta itu dijadikan sebentuk konsekuensi akil-balig dan pencarian jatidiri remaja. Cinta adalah sesuatu yang harus dibina dengan keseriusan. Tidak ada backstreet. Tidak ada cinta monyet. Makanya, diputuskannya untuk mengakhiri hubungannya yang singkat dengan Agung Sasmita, yang kala itu dianggapnya tidak memiliki pendirian dan masih terkekang oleh orangtuanya.
Namun sang waktu mempertemukan mereka kembali. Sebagai siswa berprestasi di sekolah, Aretha mendapat prioritas beasiswa di SMA Teladan Bangsa Jakarta sehabis menamatkan SMP-nya. Tapi siapa nyana ia dapat bertemu kembali dengan cinta pertamanya di Jakarta. Barangkali sang waktu ingin kembali menguakkan luka lama di hatinya. Barangkali sang waktu tidak ingin seorang Margaretha Zalianty melupakan masa lalunya yang pahit. Ah, entahlah. Ia sendiri tidak tahu!
Dan barangkali bukan kebetulan kalau ia akhirnya bertemu dengan cowok itu lagi, justru di rumah pondokannya di Jakarta. Luka lama itu kembali menguak begitu Agung Sasmita hadir di rumah pondokannya suatu hari. Dan ia hadir sebagai anak sulung Ibu Maya, pemilik rumah pondokan tersebut.
***
“Gue pingin bicara, Al!”
“Ada apa sih, Tha? Gue sibuk, nih.”
Aretha menarik lengan Alya yang hendak meneruskan kewajibannya mengamanati perintah putra sulung Ibu Maya, Agung Sasmita. Tentu saja anak-anak penghuni pondokan yang didominir seratus prosen cewek itu tidak bisa menolak. Selain karena tidak enak hati, Agung Sasmita yang punya wajah cool mirip Nicholas Saputra itu sebenarnya juga diidolai nyaris satu penghuni pondokan. Sayang Agung Sasmita jauh-jauh hari sudah memploklamirkan kalau Margaretha Zalianty merupakan calon pendamping hidupnya kelak. Jadi anak-anak cewek penghuni pondokan yang rada-rada genit tersebut hanya bisa ngiri. Tapi sebetulnya tidak tepat-tepat begitu. Yang paling mengandili antusiasme mereka bantu-bantu adalah, karena Agung Sasmita yang bertugas menagih uang bulanan sewa kamar pada anak-anak cewek sering ngasih kelonggaran bagi mereka yang terlambat dapat ‘kiriman’ dari daerah.
“Alya! Ini penting!”
“Acara ini lebih penting. So, tolong jangan recoki kesibukan gue lagi, ya?”
“Al, please! Gue nggak mau lu-lu pada bikin acara norak begini untuk gue!”
Alya terlongong. Beberapa cewek yang mendengar ‘pertengkaran kecil’ itu mengalihkan perhatian mereka dari oven-kue. Aulia malah sudah mendekat ke arah sumber keributan.
“Ja-jadi lu udah tahu kalau acara siang nanti adalah pesta ultah elu, Tha?!”
“Sori, Al. bukannya gue nggak menghargai niatan kalian, tapi tolong hargai juga dong hak gue untuk menolak segala kebaikan Agung!”
“Lho, memangnya Agung salah apa sama elu sehingga lu antipati begitu?!”
Aulia nimbrung setelah sedari tadi diam menyimak. “Eh, Tha. Elu dipegang-pegang sama Agung hingga lu hate banget sama doi, ya?”
“Aulia… please…!” Kalimat itu serempak terlontar dari mulut Aretha dan Alya.
“Batalin acara itu!” Aretha mengultimatum setelah mengalihkan pandangannya dari wajah culun Aulia, dan kembali menatap mata Alya yang sedikit rikuh dengan sikapnya yang emosional.
“Batalin?!” Mata Alya melotot. “Heh, gue lebih memilih diomeli dan dimusuhi sama elu ketimbang harus ngebatalin acara nanti. Dih, bisa digorok leher gue sama Agung!”
“Apa hak Agung bikin acara ultah untuk gue?!”
Sepi sesaat. Entah Alya harus ngomong apa untuk membela diri. Ia kemekmek dengan pertanyaan Aretha barusan. Ya, untuk apa mereka turut campur dalam urusan Aretha dan Agung?! sesalnya.
“Benar, gue nggak berhak atas hidup elu!” Ada suara bariton dari arah bingkai pintu masuk pondokan. “Tapi, tolong. Jangan salahkan anak-anak. Gue yang nyuruh mereka, kok. Kalau elu mau marah, marahlah sama gue. Acara nanti semuanya atas inisiatif gue kok, Tha!”
Kegiatan di dalam ruang dapur terhenti. Semua cewek melongok. Agung telah berdiri di hadapan Aretha dan Alya dengan sikap dingin.
“Tapi, gue nggak suka elu seenaknya bikin acara siang nanti tanpa seizin gue, Gung!”
“Sori. Itu kesalahan gue. Tapi, semua gue lakukan demi elu. Gue pingin bikin elu happy. Gue pingin menebus kesalahan gue yang lalu, Tha!”
“Ta-tapi, bukan begitu caranya….”
“Gue tahu elu masih benci sama gue, Tha! Lu belum dapat menerima kegagalan cinta kita semasa SMP dulu. Tapi, swear! Waktu itu gue nggak bermaksud nyakiti hati elu. Gue….”
Aretha mengibaskan tangan. “Udahlah, Gung! Itu masa lalu!”
“Tapi gue masih mencintai elu, Tha!” Agung berteriak tanpa mempedulikan penghuni pondokan yang menyaksikan mereka. “Gue nggak bisa melupain elu. Sampai kapan pun juga!”
Aretha menutup telinganya dengan kedua belah telapak tangan. Namun Agung menarik kedua lengan Aretha, menyentaknya dan memandang sepasang mata telaga itu dalam-dalam.
“Oke, oke. Dulu, memang gue yang salah karena nggak punya pendirian seperti yang lu tuduhin ke gue. Tapi, gue mau elu jujur. Kenapa elu nggak nyari pondokan lain begitu lu tahu sebenarnya gue ini anak Ibu Maya, pemilik rumah pondokan ini?! Kenapa, kenapa, Tha?!”
Aretha tercenung. Digigitnya bibir keras-keras. Airmatanya sudah menitik. Ada kalimat yang berdenyar di nuraninya. Kenapa?! Ya, kenapa?! Karena sesungguhnya ia pun masih mencintai Agung!
Dan ketika Agung menarik tubuhnya ke dalam pelukannya, ia tidak kuasa menolaknya lagi. Hanya airmatanya saja yang semakin menderas.
“Gue cinta sama elu, Tha,” jelas Agung. “Dan gue nggak pingin kehilangan elu lagi. Selamanya.”
Aretha terisak. Rasa sakit yang selama ini berkecamuk di dadanya mendadak lenyap. Mungkin sudah saatnyalah ia membuka pintu hatinya untuk cowok cinta pertamanya itu.
“Met ultah ya, Tha,” bisik Agung lembut, mempererat pelukannya.
Sementara itu, terdengar riuh tepuk tangan nyaris seantero penghuni pondokan. Persis penonton dalam ruang teater yang menyaksikan akhir cerita yang membahagiakan. Happy ending.
0 comments:
Post a Comment