HE’S REALLY LOVE YOU, GIRL!


Oleh Effendy Wongso

Saya tidak tahu apa yang bersemayam di benak anak itu. Setelah aca­ra formal sekolah, seminar sehari de­ng­an tema: “Drugs? No Way!”, dia jadi ber­se­­­mangat mengenal­kan Hendra Budiman kepada saya. Saat itu dia merupa­kan sa­lah seorang anggota panitia, sementara Hendra Bu­di­man menjadi bin­tang tamu se­­kaligus salah satu narasumber da­lam seminar se­­­ko­­lah. Hah, dipikir­nya saya siapa la­yak diperkenalkan dengan se­leb belia de­­­­­ngan potensi karier yang secemer­­lang ge­mintang di langit itu?!
“Hendra….”
Saya mengibaskan tangan. Sama sekali tidak ber­mi­­nat mendengar ki­dung penokohannya yang penuh dengan po­lesan pujian. Pasti soal cowok mo­­­del itu la­­gi. Sepertinya ti­dak ada tema lain yang dapat diangkat sebagai ba­han per­ca­­kap­an.
“Dia masih single.”
“Mau double juga nggak ada hubungannya sama aku.”
“Jangan begitu….”
Saya melangkah, menggebah niatnya yang babur. Per­pustakaan pasti tem­­­pat yang paling bagus untuk mere­dam berisik dari paruh cucakrawanya.
“Hanya ada satu cinta dalam hidupnya!”
Kurang ajar! Sebuah muntahan kalimat meng­hen­ti­kan langkah saya. Se­per­ti lektur petualangan yang as­yik di­te­lusuri. Menarik saya untuk me­nyi­mak le­bih jauh.
“What?!
“HANYA ADA SATU CINTA DALAM HIDUPNYA!”
“Hanya ada satu cinta dalam hidupnya?!”   
“He-eh. Itu prinsip hidupnya yang disampaikan ke­ma­rin sama aku.”
“Heh, produk kontes wajah bagus begitu punya fils­a­fat syahdu ala Ro­meo dan Juliet?!”
“Memangnya kenapa?”
“Itu hil yang mustahal!”
“Kamu nggak yakin?”
“Nggak ada alibi naratif yang dapat menegaskan pen­dapat itu se­hing­ga bi­­sa masuk dalam takaran logikaku.”
“Tapi….”
“Jangan meniup angin surga deh, Odhie!”
“Hei….”
“Nggak bagus buat kesehatan jiwa.”
“Kamu….”
“Lagian, ngapain juga dia mau mengais-ngais sebu­ah nama untuk di­ja­­­­­di­kan gacoan sebagai makhluk pen­dam­ping ke party-partynya yang se­ab­rek itu di sekolah seperti ini?”
Sesaat Odhie alias Rodiah Mubarak itu terdiam. Me­mafhumi dalam ka­dar tipis atas apa yang barusan saya ucap­kan. Ini memang bukan sekolah umum. Bukan sekolah bia­sa di mana seabrek cewek bisa berlaku dinamis, meng­ge­rai rambut mayang seperti di iklan shampo. Di sini segalanya be­da. Ka­rena ini ada­lah Madrasah, sekolah Islam dengan se­jum­lah siswinya yang santri.
Namun dia tak bergeming sedikit pun dengan niat­nya yang semula. Terus saja mengusik saya untuk mencip­rat­kan sebersit peduli. Tidak peduli saya me­no­laknya bahkan berantipati sekalipun.
“Apa salahnya?!”
Hei, apa salahnya dia bilang?! Tentu saja tidak ada yang salah! Tapi ti­dak tepat! Itu yang pantas ditempatkan pa­da kehendaknya yang meng­ge­le­gak se­per­ti lahar kepun­dan di Gunung Krakatau.
“Hah, lucu kamu!”
“Memangnya….”
“Memangnya dia mau rela seperti mualim pakai pe­ci mendampingi ce­wek berjilbab seperti kita?!”
“Nggak….”
“Hei, jangan bilang kalau kita mau melepas….”
“Astafirullah, nih anak!”
“Memangnya kita….”
“STOP! Kok jadinya ngawur begitu sih, Ayi?”
“Hm, memangnya….”        
“Aku tuh bicarain kamu. KAMU! Not us! Bukan KITA! Ja­di, kamu ja­ngan bi­lang KITA-KITA lagi!”
“Tapi kita….”
“Tuh, kan?! Lagi-lagi KITA!”
“Kamu kenapa, sih?!”
“Bukan KITA. Tapi, KAMU!”
“Kok aku?”
“Siapa lagi? Memangnya dia naksir siapa?”
“Hah, jangan bilang kalau cowok model itu naksir sa­ma aku!”
“Hei, kamu pikir aku mau membuang-buang waktu­ku yang berharga ini untuk urusan orang lain apa?! Sori! Ti­me is money. Kalau bukan karena kamu, ma­na mau aku men­jelma menjadi nenek-nenek cerewet alias Mak Comb­lang un­­tuk menjodohkan kalian!”
“Hah?!”
“Jadi, jangan menyusahkan aku! Terima dia, atau ka­­mu dianggap ce­wek pa­ling gob­lok sedunia oleh seluruh peng­huni Planet Bumi ini karena nggak mau me­nerima cinta co­wok kiyut itu!”
“HAH!”

***

“Nggak, nggak. Aku nggak mau diledekin cewek yang nggak pernah NGACAAAA!”       
“Please, jangan menyulitkan aku!”
“Nggak! Tembak aja orang lain. Kenapa mesti aku?!”
“Kamu nggak jelek, kok. Kamu tuh manis. Kecanti­kan kamu unik. Hm, mirip sama Nia Ramadhani,  artis film te-o-pe be-ge-te itu.”
“Yap. Aku memang cewek yang paling cantik sebon­bin!”
“Jangan minder begitu dong, Ayi!”
“Pokoknya, NGGGAAAAKK!”
“Please….”
“Anak itu salah nembak! Matanya rabun. Perlu diba­wa ke dokter spe­si­alis mata!”
“Kamu jangan gokil begitu, dong!”
“Nggggakkk…!”
“Ayi, listen to me!”
“Nggg….”
“AYIIII!”
Rodiah kemekmek. Mengekori saya seperti pitik. Sa­ya melangkah da­lam ge­rak gegas. Nyaris tiba di rak peni­tip­an barang ketika satu cekalan ta­­ngan­nya pada bahu meng­hentikan saya di bawah bingkai pintu per­pus­ta­ka­an.
“Dia suka kamu!”
“Jangan cepat berasumsi kalau rasa suka itu meru­pa­kan cinta, Odhie!”
“Siapa bilang bukan rasa cinta kalau kelakuannya se­perti cacing kepa­nasan begitu?!”
“Sekalipun kelakuannya seperti ular kepanasan, itu juga belum tentu ber­­arti cinta.”
“Tapi….”
Saya meneruskan langkah setelah menyimpan tas di rak penitipan ba­rang. Rodiah masih membuntuti saya per­sis robot mini bertenaga baterai yang ber­jalan dengan sensor remote-control.
“Tapi….”
Saya mengambil lektur pop. Sampul tabrak warna bu­ku tentang Jer­man menarik perhatian. Saya duduk di me­ja baca tidak jauh dari rak ter­de­kat di sisi kiri saya. Membuka buku dengan konsentrasi ambyar. Cewek ber­ta­hi lalat ala Mandy Moree itu melatah seperti bayangan!
“Hendra….”
“Sudahlah. Just friend aja sudah merupakan anu­ge­rah. Aku nggak mau mimpi muluk-muluk.”
“Ini kenyataan, bukan mimpi! Dia yang langsung menyampaikan hal itu kepadaku, kok.”
“Hanya bertemu satu kali di dalam seminar?! Heh, jangan bilang ka­lau hal itu akibat virus cinta lokasi!”
“Bukan virus cinta lokasi. Tapi, virus naksir!”
“Hihihi….”
“Jangan ketawa, Ayi! Aku serius, nih!”
“So….”
“Dia bilang, selama ini nggak pernah pacaran kare­na belum me­ne­mu­kan cewek ideal.”
“Heh, ironis banget. Ngapain juga susah-susah begi­tu, sih? Padahal, de­ngan status dia sebagai seleb kondang, pasti banyak fans cewek yang bisa dia co­mot sesuka hati.”
“Ayi! Memangnya roti apa bisa sembarang comot?! Yang benar aja ka­mu!”
“Hihihi….”
“Sebenarnya, cewek alim merupakan salah satu ka­te­gorinya. Dia juga bi­lang kalau selama ini ragu dengan ce­wek-cewek jutek yang banyak berke­liaran di luar sana….”
“Heh, memangnya ayam apa berkeliaran?”
“Shut up your mouth! Aku nggak sedang bercanda!”
“Sori.”
“Hm, dia juga bilang simpati sama kita, cewek-ce­wek Madrasah yang ma­­sih bertahan dengan tradisi Timur. Nggak gampangan, katanya!”
“Oya?! Dia bilang begitu?!”
“Sumpah! Aku juga kaget waktu dia bilang begitu. Ta­pi aku lebih ka­get waktu dia bilang naksir sama kamu!”
“Kenapa?”
“Karena aku… CEMBUUUURUUUU!”
Saya menghela napas kuat-kuat. Jantung saya rasa­nya berhenti ber­de­­­­tak. Buliran kata yang merangkai menjadi ka­limat yang dituturkan Rodiah baru­san seperti selantun la­gu indah mendayu-dayu.
Tiba-tiba saya merasa menjadi cewek yang paling be­r­untung di du­nia! (blogkatahati.blogspot.com)
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment