Oleh Effendy Wongso
“Hendra….”
Saya mengibaskan tangan. Sama sekali tidak berminat mendengar kidung penokohannya yang penuh dengan polesan pujian. Pasti soal cowok model itu lagi. Sepertinya tidak ada tema lain yang dapat diangkat sebagai bahan percakapan.
“Dia masih single.”
“Mau double juga nggak ada hubungannya sama aku.”
“Jangan begitu….”
Saya melangkah, menggebah niatnya yang babur. Perpustakaan pasti tempat yang paling bagus untuk meredam berisik dari paruh cucakrawanya.
“Hanya ada satu cinta dalam hidupnya!”
Kurang ajar! Sebuah muntahan kalimat menghentikan langkah saya. Seperti lektur petualangan yang asyik ditelusuri. Menarik saya untuk menyimak lebih jauh.
“What?!
“HANYA ADA SATU CINTA DALAM HIDUPNYA!”
“Hanya ada satu cinta dalam hidupnya?!”
“He-eh. Itu prinsip hidupnya yang disampaikan kemarin sama aku.”
“Heh, produk kontes wajah bagus begitu punya filsafat syahdu ala Romeo dan Juliet?!”
“Memangnya kenapa?”
“Itu hil yang mustahal!”
“Kamu nggak yakin?”
“Nggak ada alibi naratif yang dapat menegaskan pendapat itu sehingga bisa masuk dalam takaran logikaku.”
“Tapi….”
“Jangan meniup angin surga deh, Odhie!”
“Hei….”
“Nggak bagus buat kesehatan jiwa.”
“Kamu….”
“Lagian, ngapain juga dia mau mengais-ngais sebuah nama untuk dijadikan gacoan sebagai makhluk pendamping ke party-partynya yang seabrek itu di sekolah seperti ini?”
Sesaat Odhie alias Rodiah Mubarak itu terdiam. Memafhumi dalam kadar tipis atas apa yang barusan saya ucapkan. Ini memang bukan sekolah umum. Bukan sekolah biasa di mana seabrek cewek bisa berlaku dinamis, menggerai rambut mayang seperti di iklan shampo. Di sini segalanya beda. Karena ini adalah Madrasah, sekolah Islam dengan sejumlah siswinya yang santri.
Namun dia tak bergeming sedikit pun dengan niatnya yang semula. Terus saja mengusik saya untuk mencipratkan sebersit peduli. Tidak peduli saya menolaknya bahkan berantipati sekalipun.
“Apa salahnya?!”
Hei, apa salahnya dia bilang?! Tentu saja tidak ada yang salah! Tapi tidak tepat! Itu yang pantas ditempatkan pada kehendaknya yang menggelegak seperti lahar kepundan di Gunung Krakatau.
“Hah, lucu kamu!”
“Memangnya….”
“Memangnya dia mau rela seperti mualim pakai peci mendampingi cewek berjilbab seperti kita?!”
“Nggak….”
“Hei, jangan bilang kalau kita mau melepas….”
“Astafirullah, nih anak!”
“Memangnya kita….”
“STOP! Kok jadinya ngawur begitu sih, Ayi?”
“Hm, memangnya….”
“Aku tuh bicarain kamu. KAMU! Not us! Bukan KITA! Jadi, kamu jangan bilang KITA-KITA lagi!”
“Tapi kita….”
“Tuh, kan?! Lagi-lagi KITA!”
“Kamu kenapa, sih?!”
“Bukan KITA. Tapi, KAMU!”
“Kok aku?”
“Siapa lagi? Memangnya dia naksir siapa?”
“Hah, jangan bilang kalau cowok model itu naksir sama aku!”
“Hei, kamu pikir aku mau membuang-buang waktuku yang berharga ini untuk urusan orang lain apa?! Sori! Time is money. Kalau bukan karena kamu, mana mau aku menjelma menjadi nenek-nenek cerewet alias Mak Comblang untuk menjodohkan kalian!”
“Hah?!”
“Jadi, jangan menyusahkan aku! Terima dia, atau kamu dianggap cewek paling goblok sedunia oleh seluruh penghuni Planet Bumi ini karena nggak mau menerima cinta cowok kiyut itu!”
“HAH!”
***
“Nggak, nggak. Aku nggak mau diledekin cewek yang nggak pernah NGACAAAA!”
“Please, jangan menyulitkan aku!”
“Nggak! Tembak aja orang lain. Kenapa mesti aku?!”
“Kamu nggak jelek, kok. Kamu tuh manis. Kecantikan kamu unik. Hm, mirip sama Nia Ramadhani, artis film te-o-pe be-ge-te itu.”
“Yap. Aku memang cewek yang paling cantik sebonbin!”
“Jangan minder begitu dong, Ayi!”
“Pokoknya, NGGGAAAAKK!”
“Please….”
“Anak itu salah nembak! Matanya rabun. Perlu dibawa ke dokter spesialis mata!”
“Kamu jangan gokil begitu, dong!”
“Nggggakkk…!”
“Ayi, listen to me!”
“Nggg….”
“AYIIII!”
Rodiah kemekmek. Mengekori saya seperti pitik. Saya melangkah dalam gerak gegas. Nyaris tiba di rak penitipan barang ketika satu cekalan tangannya pada bahu menghentikan saya di bawah bingkai pintu perpustakaan.
“Dia suka kamu!”
“Jangan cepat berasumsi kalau rasa suka itu merupakan cinta, Odhie!”
“Siapa bilang bukan rasa cinta kalau kelakuannya seperti cacing kepanasan begitu?!”
“Sekalipun kelakuannya seperti ular kepanasan, itu juga belum tentu berarti cinta.”
“Tapi….”
Saya meneruskan langkah setelah menyimpan tas di rak penitipan barang. Rodiah masih membuntuti saya persis robot mini bertenaga baterai yang berjalan dengan sensor remote-control.
“Tapi….”
Saya mengambil lektur pop. Sampul tabrak warna buku tentang Jerman menarik perhatian. Saya duduk di meja baca tidak jauh dari rak terdekat di sisi kiri saya. Membuka buku dengan konsentrasi ambyar. Cewek bertahi lalat ala Mandy Moree itu melatah seperti bayangan!
“Hendra….”
“Sudahlah. Just friend aja sudah merupakan anugerah. Aku nggak mau mimpi muluk-muluk.”
“Ini kenyataan, bukan mimpi! Dia yang langsung menyampaikan hal itu kepadaku, kok.”
“Hanya bertemu satu kali di dalam seminar?! Heh, jangan bilang kalau hal itu akibat virus cinta lokasi!”
“Bukan virus cinta lokasi. Tapi, virus naksir!”
“Hihihi….”
“Jangan ketawa, Ayi! Aku serius, nih!”
“So….”
“Dia bilang, selama ini nggak pernah pacaran karena belum menemukan cewek ideal.”
“Heh, ironis banget. Ngapain juga susah-susah begitu, sih? Padahal, dengan status dia sebagai seleb kondang, pasti banyak fans cewek yang bisa dia comot sesuka hati.”
“Ayi! Memangnya roti apa bisa sembarang comot?! Yang benar aja kamu!”
“Hihihi….”
“Sebenarnya, cewek alim merupakan salah satu kategorinya. Dia juga bilang kalau selama ini ragu dengan cewek-cewek jutek yang banyak berkeliaran di luar sana….”
“Heh, memangnya ayam apa berkeliaran?”
“Shut up your mouth! Aku nggak sedang bercanda!”
“Sori.”
“Hm, dia juga bilang simpati sama kita, cewek-cewek Madrasah yang masih bertahan dengan tradisi Timur. Nggak gampangan, katanya!”
“Oya?! Dia bilang begitu?!”
“Sumpah! Aku juga kaget waktu dia bilang begitu. Tapi aku lebih kaget waktu dia bilang naksir sama kamu!”
“Kenapa?”
“Karena aku… CEMBUUUURUUUU!”
Saya menghela napas kuat-kuat. Jantung saya rasanya berhenti berdetak. Buliran kata yang merangkai menjadi kalimat yang dituturkan Rodiah barusan seperti selantun lagu indah mendayu-dayu.
Tiba-tiba saya merasa menjadi cewek yang paling beruntung di dunia! (blogkatahati.blogspot.com)
0 comments:
Post a Comment