Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Oleh Effendy Wongso

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
tiga kali empat meter, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Chairil Anwar
Sebuah Kamar (1946)

Foto: Effendy Wongso
Sinar itu selalu mengusiknya. Sebelum segalanya sempurna dalam de­kap­an tidurnya yang damai. Tujuh tahun, entah. Mungkin lebih. Delapan ba­rang­kali. Ia tidak menghitung persisnya. Sinar itu mengiring langkahnya ber­an­jak de­­wasa. Kadang-kadang membuainya dengan hangat seperti seli­mut. Tapi juga mengu­sik­nya. Seperti pagi ini.
Ia menguap setelah mengucek-ucek mata. Dipannya masih terasa ha­ngat. Dan ada ketidakrelaan ketika sepasang kaki telanjangnya itu menyen­tuh lantai ta­nah yang dingin. Disibaknya sarung usang yang biasa dipakainya sebagai seli­mut. Ada cabikan kecil pada tepinya. Tidak terlalu jelek. Sarung itu konon di­bu­at di pedalaman Sulawesi Selatan. Dirajut secara tradisional dari kepom­pong ulat sutra. Lebih dikenal dengan nama sarung sutra Bugis.
Kisah tentang sarungnya itu sebenarnya tidak terlalu bagus. Ayahnya yang memberikannya tiga tahun lalu. Sehari sebelum Idul Fitri. Sarung itu me­ru­­pakan benda terbaik dan paling berharga yang pernah ia miliki. Tidak di­sang­ka merupakan pemberian terakhir dari lelaki yang sehari-hari menjadi tu­kang tambal ban itu. Mengingat semua itu ia seolah dihadap­kan pada layar ke­nangan de­­ngan skenario lara. Bukan hal yang menyenangkan memang. Tapi ki­sah itu ke­­rap hadir dalam kesendiriannya. Ketika Ibu berangkat kerja sebagai binatu ke­­liling. Ketika Lanang, kakak laki-lakinya pergi mengamen, atau sekali-kali men­­­jadi pengemis dengan menyewa bayi tetangga dengan upah satu nasi bung­kus.
Di luar sudah terdengar gaduh rutinitas. Ada derit roda pada katrol tim­ba pa­rigi. Ada bunyi desau air dari kamar mandi berdinding lepa. Ada de­bum kasur yang ditepuk-tepuk karena baru saja malam tadi diompoli oleh sang orok. Juga bu­­­nyi berirama kayuhan patah-patah becak gerobak peda­gang sayur. Setiap me­­lewati jalan becek di depan rumahnya, lelaki tua ber­ma­­ta cekung itu selalu ke­repotan. Ia harus turun dari sadel. Mendorong be­cak gerobaknya, sesekali menghindari tanah yang berlubang-lubang dan ber­lum­pur. Lalu setelah berhasil melewati jalan yang selalu menyusahkan­nya itu, ia akan mengumpat-umpat de­ngan kalimat yang tidak jelas. Tidak ada yang pernah mengerti. Termasuk pe­rem­puan gemuk penjual jamu gen­dong yang selalu ber­pa­pasan dengannya.
Atau, seorang perempuan muda dengan pakaian norak berwarna ma­nya­la separo terbuka yang baru pulang dengan mata sembap. Perempuan itu biasa di­panggil Tin si Kupu-kupu Malam. Tin adalah kependekan dari Tin­ne­ke. Sebe­tul­­nya bukan itu nama sebenarnya. Menurut orang-orang kampung di dekat Kali­jodo, perempuan itu aslinya ber­nama Tinah Suhartin. Dari Ja­wa. Namun sete­lah beradaptasi dengan kehidupan perkotaan, seperti bung­lon ia pun mengganti na­ma­nya. Juga penampilan­nya.
Dari jalan masuk sinar matahari itu pula ia dapat mengintip semua ke­­ja­dian pagi yang menjadi ritual harian orang-orang pinggiran. Lubang so­bekan pa­da dinding kardus rumah itu sebesar bola tenis. Samar masih ter­tang­kap buram gam­bar dan tipografi iklan sebuah rokok di sampingnya. Ada tam­balan poster di sana-sini. Wajah lama Michael Jackson yang masih ber­ku­lit hitam tampak me­ng­u­ning. Sementara gambar klasik pasangan bintang Nike Ar­dil­­la dan Hengky Tor­nan­do berlubang-lubang belel dan bolong tersundut api rokok.
Lubang itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Kalau ma­lam, ia dapat mengintip bintang-bintang di langit. Untuk rutinitas malam orang-orang kam­pung, ia tidak dapat lagi melihat apa-apa lagi selain keke­lam­an. Ti­dak ada apa-apa selain suara kodok atau sesekali gonggongan an­jing buluk mi­lik se­orang pemulung kayu peti asal Madura di kelokan gang sa­na.
Dari kejauhan terdengar pula ritme gerit roda besi pada sambungan-sam­bungan rel. Kereta api jurusan Jakarta-Depok seperti tidak ada habis-ha­bisnya. Se­tiap lima belas atau dua puluh menit sekali bunyi itu mengirama pa­da gen­dang telinganya. Suara itu juga kadang-kadang diimbuhi dengan bu­nyi serak da­ri sebuah radio tua milik tetangganya yang berjarak dua meter dari rumahnya. Pukul enam pagi tepat, siaran luar negeri BBC London pasti terdengar dari ge­lom­bang pendek radio transistornya. Tetangganya itu seo­rang purnawirawan ten­­ta­ra pada zaman Orde Lama. Semua bunyi terse­but mengirama seiring de­ngan usianya yang jalan tiga belas. Dan menjadi litani pada kehidupan­nya yang tawar.
Ia sudah terbiasa dengan ritme kehidupan yang sekian belas tahun di­ak­­rabinya. 

***

Siang tadi ia mendadak kedatangan tamu penting dari sebuah SMA yang berlokasi di Depok. Seorang siswi. Cantik. Kelihatan­nya anak orang kaya di ko­ta. Sebetulnya, bukan sengaja. Secara acak siswi itu menda­tangi ru­mah-rumah yang dianggap paling kumuh. Tidak layak untuk ditinggali. Termasuk di rumah­nya.
“Kamu sendiri?” ia bertanya, membuka pembicaraan setelah gadis tiga be­­las itu hanya menundukkan kepala dengan rupa gelisah. Ia duduk di amben belakang, menghadap keluar berseberangan dengan sebuah kanal de­ngan air­nya yang keruh.
“Orangtua kamu?”
“Bapak sudah meninggal, tiga tahun lalu. Ibu lagi kerja, nyuci baju di ru­mah ibu-ibu di kampung sebelah. Saya ditinggal sampai sore. Tidak boleh ikut. Mes­ti jaga rumah.”
Siswi itu mengerutkan keningnya. Melongokkan kepala ke arah da­lam rumah kardus yang disinggahinya. Diedarkannya matanya ke sekeli­ling ru­ang­an yang tidak lebih besar ketimbang toilet utama rumahnya di ‘Pondok In­dah’. Ini tidak layak disebut rumah. Di mana-mana beterbangan lalat dari tum­pukan sam­­pah tidak jauh dari tempat ia sekarang berada. Ia sama sekali tidak menye­but kata ‘rumah’ untuk tempat ini. Karena menurutnya, rumah yang ideal adalah ‘home’. Dalam rumah kategori itu ada keharmonisan dan ke­damaian su­a­sana. Tidak seperti di tempat ini. Sangat jorok dan tidak se­hat!
“Kamu tidak sekolah?”
“Tidak. Tapi, diajari baca sama Bang Lanang.”
“Siapa dia?”
“Kakak. Bang Lanang pernah sekolah. Tapi cuma sampai kelas lima SD sa­ja. Tidak sampai tamat.”
“Kenapa?”
Gadis itu kembali menundukkan kepala. Binar di matanya meredup. Ia nam­pak gelagapan.
“Bapak keburu meninggal, Kak.”
Siswi itu terhenyak sesaat. Tapi diuraikannya sebuah senyum pak­­sa, meng­­gebah rasa iba yang menyeruak mendadak. Ia sangat prihatin de­­ngan kon­di­si yang dilihatnya.
“Kamu boleh panggil nama saya. Wulan. Kalau kamu?”
“Lintang, Kak.”
“Hm, Lintang pernah kepikiran untuk sekolah tidak?”
“Ingin sekali. Tapi, biaya sekolah mahal….”
Wulan menghela napas. Kalimat lugu yang disampaikan Lintang ba­rusan memang merupakan refleksitas kehidupan yang sebenar-benarnya. Bah­wa be­tapa banyak kepincangan yang membumi di Nusantara ini.
“Lintang pernah menabung untuk dapat sekolah. Tapi….”
“Tapi kenapa?”
Gadis berambut kusam itu menggigit pelepah bibirnya. “Tapi Ibu ma­rah. Ibu bilang, Lintang jangan berkhayal dapat sekolah. Karena untuk ma­kan seha­ri-hari saja susahnya minta ampun.”
“Ibumu bilang begitu?”
“Ya.”
“Lintang kecewa?”
Gadis kecil itu menggeleng. “Tidak, Kak. Lintang sadar, setelah Bapak me­ninggal, untuk makan nasi bungkus saja kadang-kadang Ibu mesti menge­mis di Mpok Minah, pemilik warung nasi di sebelah rumah.”
“Jadi, selama ini apa Lintang tidak punya cita-cita?”
Gadis itu tersenyum samar. “Cita-cita Lintang hanya satu, Kak. Pingin ja­di orang kaya!”
Wulan meneguk ludahnya yang terasa memahit. Ini tugas paling berat un­­tuk bahan makalah Lingkungan Hidup yang dipilihnya. Seha­rus­nya ia tidak boleh terbawa perasaan begitu. Sebab hal itu dapat menggang­gu konsen­tra­si­nya. Bahan tulisannya bakal tidak obyektif lagi.
“Kak Wulan anak gedongan, ya?”
Wulan membeliak. Terkejut dengan pertanyaan dadakan dari Lintang. Ia kemekmek. Entah harus menjawab apa.
“Tidak juga. Tapi, keluarga Kak Lintang tidak susah-susah banget se­per­­ti….”
“Aduh, enak ya jadi orang kaya?”
“Ti-tidak selamanya….”
“Siapa bilang tidak enak? Buktinya Bapak meninggal karena ingin men­­ja­di orang kaya….”
“Se-sebenarnya, bagaimana kematian Bapak kamu itu….”
“Persisnya, Lintang tidak tahu, Kak! Tapi, seminggu sebelum Bapak me­­­ning­gal, Lintang pernah dengar Ibu bertengkar dengan Bapak. Kalau tidak sa­­lah dengar, Ibu bilang tidak setuju kalau Bapak ikut Kelompok Kapak Me­rah!”
Wulan nyaris kelengar. Kelompok Kapak Merah?! Bukankah….
“Dari Ibu, Lintang tahu kalau Kelompok Kapak Merah itu merupakan per­­kum­­pulan orang-orang yang sering merampok dan memalak orang-orang kaya bermobil di jalanan.”
“Tapi, kenapa Bapak Lintang sampai terlibat?”
“Kata Ibu, Bapak terpengaruh. Waktu Lintang masih bayi, rumah gu­buk kami di Kedungumbo kena gusur secara paksa. Bapak marah, menyim­pan den­dam sampai se­ki­an tahun. Beserta beberapa sahabatnya, Bapak ber­gabung de­ngan Kelompok Kapak Merah. Bapak bilang sama Ibu sebelum me­ninggal, bahwa dia berjanji hanya akan merampok para pejabat korup saja, yang sudah diincar cermat jauh-jauh hari.”
“Tapi, pada kenyataannya Kelompok Kapak Merah itu semakin mere­sah­­kan masyarakat Jakarta, Lintang! Semuanya disikat. Tanpa pandang bulu. Bu­kan­­­nya hanya para pejabat korup saja.”
“Hal itu Lintang tidak mengerti, Kak. Tapi, kata Ibu, sampai di akhir hi­­dupnya pun Bapak tidak pernah mengingkari janjinya. Setiap melaksana­kan ak­si­nya, Ba­pak selalu berusaha menghindari melukai, terlebih-lebih membunuh kor­­­­bannya. Lagipula, uang hasil rampasan itu pun tidak pernah dipakai untuk ber­­foya-foya lazimnya perampok lain. Lintang pernah melihat sendiri Bapak mem­­bagi-bagikan jatah uang­­nya untuk tetangga-tetangga yang tidak dapat ma­kan hari itu, kok!”
“Ta-tapi….”
“Bapak seperti Robin Hood ya, Kak?”
“Tapi….”
“Lintang tahu dari Bang Lanang, katanya, menurut koran-koran, apa yang dilakukan Bapak itu salah besar menurut hukum. Tapi, kalau begitu, ke­na­pa tidak ada sanksi untuk para pejabat korup itu? Bukankah kejahatan mereka le­­bih besar ketimbang aksi Bapak yang dilakukan cuma demi sesuap nasi?”
“Ta-tapi….”
“Kadang-kadang Lintang tidak habis pikir, Kak. Dunia ini rasanya tidak adil. Bapak yang berjuang demi keluarga dan sesuap nasi, akhirnya mati me­nge­naskan, kena tembak polisi dalam sebuah aksinya. Sementara para ko­rup­tor itu melenggang bebas….”
Wulan terlongong mendengarkan ulasan gadis yang baru tumbuh re­ma­ja itu. Mulutnya seolah dibekap. Membungkam setiap perbendaharaan kalimat yang hendak terlontar. Ia mematung dengan beragam pikiran yang berkecamuk di benak. Tiba-tiba ia teringat kejahatan kerah putih yang ter­jadi di Tanah Air. Sebegitu parahkah penyakit lama bangsa be­sar ini?!
Ia menggigit bibir. Ini refleksitas!
Lalu gadis tiga SMA itu pamit undur. Ia berjanji akan da­tang esok. Bahan untuk makalahnya memang masih jauh dari cu­­kup. Di­ra­sa­kan­nya langkahnya mem­berat ketika melewati gugusan rumah kardus di per­kam­pungan kumuh ter­sebut.
Hatinya gamang. (blogkatahatiku.blogspot.com)

BLOGKATAHATIKU/IST
Garfield Si Mata Ngantuk
Oleh Weni Laudy Ratana

Sebentar lagi UAN kelas tiga berakhir. Itu berarti sebentar lagi anak-anak seantero akan me-nikmati banyak waktu luang untuk berleha-leha. Rileks dari rutinitas formal sekolah yang membebati otak selama ini. Mungkin anak-anak sudah menyusun agenda trip mereka. Ke Bali misalnya. Atau, tempat-tempat wisata lainnya. Tapi vakansi sekolah atau apapun namanya, bagi Tita sama saja. Tidak ada acara santai-santaian. Sebab, saban hari ia mesti membantu Mama. Dari fajar hingga sore hari. Bahkan terkadang sampai malam hari. Jadi, acara liburan yang biasanya diisi dengan perjalanan glamor dan eksklusif begitu memang seharusnya digebahnya jauh-jauh.
Garfield Si Mata Ngantuk seminggu menjelang vakansi masih saja seperti yang dulu. Ia tertidur dengan kepala menelungkup dan beralaskan sepasang punggung tangan sebagai bantal di atas meja kelas. Tak menyadari bahaya yang mengawasinya diam-diam sedari tadi.
Garfield Si Mata Ngantuk adalah julukan teman-teman sekelas bagi Tita Aryanita Ningrum. Seharusnya ia senang dengan julukan yang diberikan teman-teman sekelas kepadanya. Bukankah Garfield merupakan boneka kucing yang lucu dan menggemaskan? Tapi artifisial itu malah menyakiti hatinya. Dan setiap dipanggil dengan Garfield, maka ia hanya dapat menatap bentangan suram masa depan keluarganya dengan airmata berlinang. Diam-diam ia menangis. Menangis tanpa seorang pun yang tahu. Tak terkecuali Dewi!
“Tita!”
Ada suara samar yang menyentuh gendang telinganya. Lalu kalimat bernada bisik itu gegas disertai satu goyangan keras pada bahu. Dewi panik membangunkannya setelah terlambat menyadari kalau gadis anak seorang single parent, yang menghidupi keluarganya dengan membuat dan berjualan penganan di pasar tradisional itu kembali dibuai kantuk. Selama ini Dewi-lah yang selalu menjadi dewi penolongnya. Setiap ia tertidur tanpa sadar, maka Dewi-lah yang selalu membangunkannya. Entah mengapa hari ini Dewi luput dari ritual rutinnya, dan kecolongan tak membangunkan Tita justru ketika Ibu Rita yang sedang mengajar.
“Bangun, dong! Tuh, The Killer manggil kamu!”
Tita terbangun dengan pandangan melamur. Bisikan separo kesal Dewi mengangsur menghilang dari pendengarannya. Sesaat dikucek-kuceknya mata sebelum tingkah rutinnya itu diteriaki dengan ‘huuu’ oleh anak-anak sekelas. Lantas ada derap-derap langkah sepatu yang menyentuh ubin mengarah ke bangkunya di akhir teriakan tidak ngenakin dari anak-anak sekelas tadi. Bu Rita geleng-geleng kepala saat Tita sudah menegakkan kepalanya seperti kobra.
“Tita, coba jawab apa yang dimaksud dengan herpetologi?!”
“Dua puluh butir telur ayam. Lima kilogram tepung terigu. Gula pasir seperempat liter. Setengah botol baking soda....”
Terdengar riuh tawa yang menggemuruh sehingga gedung kelas nyaris runtuh. Bu Rita¾guru biologi itu menggeram, dan sesekali membenarkan letak kacamatanya yang, sebetulnya sama sekali tidak apa-apa sebagai reaksi amarah. Bukan sekali dua Tita begini. Tapi sudah berkali-kali!
“Tita, mulai besok, sekalian kamu bawa kasur dari rumah kamu saja ke dalam kelas. Biar tidurnya lebih nyenyak!”
Tita menundukkan kepalanya karena malu. Digigitnya bibir menahan airmata yang menggumpal di pelupuk. Sementara itu teman-teman sekelasnya masih tertawa dan cekikikan.
“Maaf, Bu,” sahutnya lemah.
“Kali ini Ibu maafkan. Tapi tidak untuk lain kali. Sebab Ibu tidak akan berkompromi de-ngan siswa yang suka tidur di dalam kelas. Sekali lagi Ibu dapati kamu tidur di dalam kelas, maka Ibu akan usir kamu keluar selama mata pelajaran biologi berlangsung. Paham?!”
“Pa-paham, Bu.”
Ibu Rita yang dijuluki The Killer itu melangkah menjauhi Tita yang masih menundukkan kepalanya. Airmatanya sudah menitik. Tidak dapat dibendungnya lagi.

***

“Aku pingin berhenti sekolah, Wi!”
“Ap-apa?!”
Dewi membeliak di akhir kalimat Tita. Udara sore yang sejuk di pekarangan belakang rumah Tita mendadak berubah panas dan gersang. Ia sama sekali tidak menyangka Tita akan mengambil keputusan yang merupakan kiamat dan jalan pintas mengakhiri pendidikan formal seorang siswa.
“Kamu pingin berhenti sekolah?!”
Dan seperti tidak yakin dengan pendengarannya sendiri, gadis berambut cepak itu bertanya kembali. Jawaban atas pertanyaan kurang yakin tersebut ditanggapi dengan anggukan kepala. Tegas meyakinkan keputusannya yang semula. Berhenti sekolah!
“Aduh, Tita! Kamu jangan parno begitu, dong! Masa sih cuma ditegur sama Bu Rita kamu sampai gokil begitu, sih?!”
“Bukan karena soal itu. Toh anak-anak juga selalu meledek aku, kan?”
“Lalu, apa?!”
Tita menggigit bibir. Sesaat ia tercenung sembari memandangi adonan kue dalam waskom yang masih tergeletak di amben rendah samping kursi mereka duduk sekarang.
“Aku mau konsen bantu Mama.”
Dewi menepuk dahinya. “Ya ampun, Tita! Konsen sih konsen. Tapi tidak perlu sampai berhenti sekolah begitu, dong!”
“Tapi....”
“Dengar ya, Ta! Memangnya kamu mau jadi gembel apa tanpa pendidikan yang layak?! Suer, deh! Mama kamu pasti juga tidak setuju kalau kamu mengambil keputusan norak begitu!”
“Tapi....”
“Mama kamu pasti kecewa karena putrinya tidak bakal jadi ‘orang’!”
“Hei, memangnya aku bukan ‘orang’ apa?”
“Jangan bercanda. Aku serius!”
Dewi mengibaskan tangannya di muka wajah Tita. Membungkam senyum pura-pura gadis anak tukang kue di Pasar Minggu itu. Meski iba terhadap keadaan keluarga Tita, tapi kadang-kadang ia merasa jengkel dengan sikap nalar pendek teman sebangkunya di kelas itu.
Seperti hari ini. Tiba-tiba anak itu punya pikiran gokil mau berhenti sekolah. Memangnya ia tidak memikirkan masa depannya apa?! Mau jadi apa anak itu nanti?! Memangnya ia mau menjadi penjual kue di Pasar Minggu seumur hidup?!
Pufh! Padahal....

***

“Tita, sadar dong. Kalau bukan melalui jenjang pendidikan kamu bisa sukses, lalu apa lagi yang bisa kamu harapkan? Lagian, kurang lebih setahun lagi kita sudah lulus. Kalau kamu memutuskan berhenti sekolah, itu sama saja kamu menyia-nyiakan separo hidupmu selama kamu sekolah mulai TK sampai SMP kelas dua ini!” 
 “Tapi, aku serius pingin bantu Mama. Sepeninggal Papa, Mama kewalahan mencari nafkah untuk kami. Kalau aku berhenti sekolah, maka aku dapat menabung uang sekolah itu untuk hal-hal lain. Nambah modal jualan, misalnya.”
“Jangan picik begitu, Tita! Aku tahu itu hanya alasan kamu supaya dapat menjauhi anak-anak sekelas yang selalu meledek dan menghina kamu. Kamu tuh cuma pingin lari dari kenyataan. Kamu tidak gentle menghadapi mereka. Kamu minder dan rendah diri!”
“Bu-bukan....”
“Sudahlah, Ta. Aku tidak berhak melarang kamu untuk tidak berhenti sekolah. Kamu kan bukan anak kecil yang harus selalu diatur-atur. Aku tuh hanya kasihan sama kamu. Kasihan sama keadaan keluarga kamu. Kalau saja aku memiliki kemampuan dan keajaiban untuk mengubah keadaan keluarga kamu, sudah sedari dulu aku lakukan itu. Tapi aku tidak memiliki kemampuan itu. Justru dari diri kamu sendirilah yang dapat mengubah keadaan keluarga kamu.”
“Tapi....”
“Kamu harus berjuang. Seberat apa pun rintangan yang akan kamu hadapi. Setiap manusia dilahirkan sama. Memiliki kapabilitas yang sama. Kalaupun ada keberhasilan dan kegagalan, itu merupakan proses dari perjuangan diri kita masing-masing. So, please. Urungkanlah niat kamu itu!”
“Ta-tapi....”
“Tidak ada tapi-tapian, Tita! Kamu harus maju terus, sekolah terus. Kamu harus yakin potensi diri kamu. Kamu sebetulnya cerdas, kok. Hanya saja kamu tidak pernah mau menggali potensi diri kamu.”
“Kamu terlalu muluk memandang diriku, Wi!”
“Apanya yang muluk?! Aku bicara kenyataan, kok. Buktinya, meskipun waktu belajarmu di luar sekolah kurang karena lebih banyak membantu Mama kamu, tapi tetap saja hasil nilai-nilai di buku rapor kamu bagus. Malah mendapat rangking sembilan dari tiga puluh orang siswa. Iya, kan?”
“Iya, sih. Tapi, sampai kapan aku dapat membagi waktu aku antara kerja dan sekolah? Nah aku pikir, mulai sekarang aku tuh harus konsekuen memilih. Antara kerja bantu-bantu Mama, atau sekolah.”
“Lho, kamu kan dapat menjalani dua-duanya!”
“Tidak bisa, Dewi! Tidak bisa! Aku harus memilih. Toh kamu lihat selama ini bila tetap menomorsatukan dua-duanya itu, semuanya malah terbengkalai. Sekolah tidak becus, kerja juga kacau.”
“Jangan keras kepala, Tita! Itu memang komitmen atas kondisi dan keadaan keluarga kamu. Lagian, mana ada sih orang yang sukses tanpa melalui perjuangan hidup!”
“Kelihatannya memang gampang, Wi. Tapi dalam prakteknya, ngelakonin kedua-duanya itu tidak gampang. Aku stres, tahu! Saban hari harus bangun jam empat subuh, bikin kue untuk dijual di pasar. Belum lagi kalau ada ulangan mendadak padahal semalam aku belum belajar karena kecapekan bantu Mama. Bagaimana aku tidak semaput di kelas, coba?! Makanya, aku harus memutuskan untuk berhenti sekolah sebelum kedua-duanya berantakan.”
Dewi mendengus. Nyaris berputus asa. Tita terlalu teguh untuk dikasih pengertian bijak. Hatinya masih sebeku es di Benua Antartika. Masih bersikukuh dengan keputusannya untuk tidak melanjutkan sekolah.
“Hei, Garfield Si Mata Ngantuk! Aku tuh bosan bikin kamu sadar!”
Tita menundukkan kepala. Menelan dengan susah payah ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. Hatinya sakit. Lebih sakit ketimbang saat teman-temannya meledeknya ‘Garfield Si Mata Ngantuk’ di sekolah. Sekarang bahkan Dewi pun sudah memanggilnya dengan julukan yang telah dikutuknya selama dua tahun.
“Pokoknya aku harus berhenti sekolah!”
Tita sudah tak dapat menahan emosinya. Ia menjerit dan mengentakkan kakinya di tanah setelah berdiri dari duduknya.
“Ya sudah. Berhenti saja. Aku nyesal datang ke rumah kamu ini bila sedikit pun nasehatku tidak ditanggapi!”
Dewi berdiri dari duduknya di bangku kayu pekarangan belakang rumah separo gubuk Tita. Hendak melangkah pulang setelah memutar tumit seratus enam puluh derajat. Tapi langkahnya yang setindak tertahan oleh sebuah cekalan. Ia berpaling. Dan mendapati tatapan sepasang mata telaga yang telah mengeluarkan airmata. Hatinya trenyuh.
“Maaf, Wi. Bukan maksud aku....”
“Mungkin aku yang salah, Ta. Seharusnya aku tuh tidak mengintervensi hidup kamu. Seharusnya aku tidak mencampuri urusan kamu yang lebih memilih meninggalkan sekolah demi bantu-bantu Mama kamu. Sori, aku yang terlalu nyinyir!”
“Ti-tidak, Wi. Kamu tidak salah. Aku yang salah karena terlalu keras kepala. Jujur, aku memang minder dan rendah diri. Setelah kejadian siang tadi di kelas, rasanya aku terpukul banget. Aku tidak sanggup lagi menahan diri untuk tetap bersikap tegar di hadapan teman-teman sekelas. Sebetulnya aku rapuh, Wi. Aku lemah. Lagipula, semua teman sekelas seperti memusuhi aku. Padahal, bukan sengaja aku tertidur di kelas. Bukan kesalahan aku kalau setiap hari semaput setelah bekerja keras bantu-bantu Mama. Aku sebetulnya pingin hidup normal layaknya siswa lain yang kerjanya hanya belajar dan sekolah. Tapi, mana boleh aku berpangku tangan sementara Mama banting-tulang demi sesuap nasi buat keluarga. Makanya....”
Tita terisak. Bahunya berguncang keras. Dewi merangkul sahabatnya itu. Berusaha menenangkannya dengan membelai-belai rambutnya yang mayang. Ia sadar setelah kejadian siang tadi di kelas, gadis itu sangat terpukul. Ia malu. Malu diperlakukan tidak fair begitu sebelum mereka semua tahu duduk persoalannya. 
“Sudahlah, Ta. Jangan nangis bombay begitu, dong. Kan masih ada aku yang akan selalu membantu dan membela kamu. So, tunjukin dong kalau kamu tuh gadis yang paling tegar sedunia! Oke?”
Tita mengangkat wajah setelah sedari tadi menunduk. Ia mengangguk, lalu tersenyum penuh makna sebagai balasan. Sepasang mata telaganya kini telah beriak indah. Meronakan semangat dalam menjelang hari-hari yang panjang dan melelahkan.
Karena ia sadar, sesungguhnya hidup ini memang penuh dengan perjuangan! 


Oleh Weni Lauwdy Ratana

Guan Yin Pu Sha merupakan sosok totem yang sangat dipuja dalam masyarakat Tiongkok meski di dalam kepercayaan buddhisme sosok maharesi ini yang disebut juga Avalokitesvara Bodhisatva. Ia terlahir dari sebuah keluarga kerajaan yang terletak di salah satu daerah perbatasan Tiongkok dan Jambudhipa, kini India. Ia mengaplikasin kebajikan dan welas asihnya kepada semua umat manusia. Tanpa pamrih dan penuh ketulusan. 

***

Guan Yin  berharfiah ‘Maha Mendengar Derita para Jelata’ merupakan salah satu sosok totem yang sangat luhur dan berhati lembut. Ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi menolong manusia yang tengah dilanda musibah. Ia pasti akan menolong manusia yang tengah menderita jika benar-benar dan sungguh-sungguh berdoa memohon kehadiratnya.
Pada kekuasaan Dinasti Han, ia merupakan putri ketiga Kaisar Miao Zhuang yang bernama Putri Miao Shan. Setelah melalui serangkaian perbuatan baik maka ia mencapai ‘pencerahan’ menjadi dewi Langit. Namun sesungguhnya, tidak dengan sertamerta ia meraih puak terhormat Langit. Dan ihwalnya adalah Shung Ma Tong, sang Pangeran yang hidup di Jambudipa, kinia India. Lalu selang kekalpa berikutnya, ia dulunya adalah sesosok dewa reinkarnasis Po Luo Men yang sangat dihormati.
Jadi Shung Ma Tong dan Po Lue Men adalah replikasi yang menggandakan diri menjadi dua dan melaik demi pengabdian kemanusiaan yang diamanati Langit. Mereka lalu menjelma jelata dalam berbagai versinasi, melarung di dalam penderitaan itu sendiri. Mengobati sang Pesakit. Menyembuhkan sang Terluka. Mengusir sang Pebatil. Dan mengurniai sang Pebajik. Lalu dalam guliran kekalpa, pengejewantahan kebajikan mengubah ‘mereka’ dalam lentuk-lentuk figur yang sampai saat ini dikenang sebagai Guan Yin dan Da Shi Zhi. Mereka kemudian menjadi bentara bagi Amitabha Tataghata yang masing-masing mengapit di sebelah kiri dan kanan. Mereka bertiga kerap disebut Trinitas Xi Fang San Sheng, Si Pembawa Berkah Kebajikan nan Welas Asih, yang akan mengurus pengetahuan akan kesadaran dan kebaikan.
Replikasi reinkarnasis yang jelmais dalam bentuk-bentuk kelahiran pernah menakdirkan Guan Yin sebaai seorang laki-laki dan perempuan. Ihwal sosoknya yang lelaki pernah berlaku selama menjalani reinkarnasis dalam suatu masa, dan sebaliknya dalam suatu masa pula ia pernah jelma perempuan. Pada saat menjadi putri ketiga Kaisar Miao Zhuang, ia mereplika perempuan dan saat itu, saat mencapai ‘pencerahan’, ia mendapat gelar Qiang Shou Guan Yin atau Guan Yin Dewi Tangan Seribu. Dikisahkan pula saat menjelata, ia akan dapat mereplik dirinya dalam tigapuluh tiga bentuk. Dalam masa kekuasaan Dinasti Yuan, melegendalah sosok Guan Yin sebagai salah satu totem terpopuler sehingga ia menjadi simbolik welas asih yang dirunuti sebagai si Dewi Anggun Beraura Putih dari berbagai aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak itu pulalah polemik yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa sendiri yang menyatakan bahwa apakah Guan Yin adalah perempuan atau lelaki lantak sudah oleh satu hal:
Maharesi Guan Yin adalah replika kebajikan yang ditakdirkan Langit untuk dapat mengubah sosoknya menjadi perempuan dan lelaki. Dan jika yang paham akan siklus reinkarnasi, bahwa hal tersebut merupakan lumrah dan kegaliban yang terjadi pada semua makhluk hidup!

***

Namun lepas dari semua polemik yang berkembang baur, sosok Guan Yin yang mengultus adalah ketika ia jelma Putri Miao Shan, putri ketiga dari Kaisar Miao Zhuang. Alkian sewaktu buddhisme merambah ranah Tionggoan, ajaran moralitas tersebut berasimilasi dengan kebudayaan besar Han di sana. Sosok Miao Shan melamur dan diversikan dalam gambaran ala Han. Maka Guan Yin pun melamur dalam tatanan masyarakat setempat. Ia yang kental menuansa Jambudhipa di-Tionggoan-kan supaya dapat terselami oleh pencerapan benak masyarakat Tionghoa kala itu.
Tersebulah dalam versi ala Han bahwa saat Miao Shan memutuskan menjadi biksuni, maka sang Ayahanda Kaisar Miao Zhuang tidak setuju dan memerintahkan putri ketiganya itu untuk bunuh dir saja. Pedang diangsurkan pada putri bungsunya itu untuk melaksanakan harakiri. Namun keajaiban seolah diturunkan Langit, pedang yang merancap pada dadanya malah patah berkeping-keping, dan sama sekali tidak melukai Putri Miao Shan. Setelah upaya pembunuhan diri putri yang berhati luhur itu gagal, maka ia diusir dan diasingkan ke sebuah daerah perbukitan. Di sana, Putri Miao Shan benar-benar mendalami inti kebajikan dari semedi yang dilakukannya. Jelang beberapa waktu dalam masa permenungan yang dilaluinya dengan sungguh-sungguh, maka ia pun mencapai ‘pencerahan’.
Waktu yang berlalu demikian cepat kembali memanggilnya pulang. Kala itu sang Ayahanda dirundung sakit. Tak ada tabib yang dapat menyembuhkan Sang Kaisar. Maka menjelmalah Putri Miao Shan sebagai biksuni tabib, dan mengatakan jika obat mujarab yang dapat menyembuhkan Sang Kaisar hanyalah jejamu yang dicampur dengan bagian potongan otot dan bola mata cungkilan dari darah dagingnya sendiri.
Maka Putri Miao Shan kembali menjelma sebagai dirinya kembali, dan rela melakukan pengorbanan itu demi kesembuhan sang Ayahanda yang pernah menampiknya. Di situ pulalah ihwal ia menjadi Dewi Tangan Seribu. Ketika sang Ayahanda menitah pembuatan sebuah rupam bagi putrinya yang kelana, maka aplikasi tersebut diterjemahkan salah oleh perupa terbaik di negeri Han. Deskripsi kekeliruan pembuatan rupam itu melegenda, dan malah mewangi menjadi seribu tangan kebajikan dan seribu mata kearifan. (blogkatahatiku.blogspot.com)
Previous PostOlder Posts Home