Ilustrasi: Dok KATA HATIKU |
Serangkai bunga mawar. Candle light dinner. Kado permen coklat berpita merah jambu. Ungkapan cinta yang terdengar klise. Itulah suasana yang bakal memenuhi atmosfer Valentine’s Day nanti. Seperti yang sudah-sudah. Semuanya terasa menjenuhkan. Sebuah rutinitas tahunan yang seolah tidak memiliki makna lagi. Paling tidak, itulah yang dirasakan Tita kali ini. Menjelang Valentine, semuanya terasa hambar. Tapi seperti hari-hari yang lalu, Valentine tak dapat dihindarinya.
But, this is Kikan’s Valentine!
Ia harus menghadirinya. Suka atau tidak suka.
“Tita, ada telepon….”
Sebuah panggilan yang asalnya dari lantai bawah. Dialihkannya pandangannya dari kartu undangan berwarna pink, yang baru diterimanya siang tadi di sekolah dari Kikan Riswana, sahabatnya.
“Dari siapa, Ma?”
“Maya.”
Tita mengempaskan tas sekolahnya di atas tempat tidur. Juga kartu undangan Valentine dari Kikan. Sepasang kruknya yang sudah anteng menyandar di samping meja belajar diraihnya dengan gerak gegas. Kadang-kadang ia mengumpat kalau ada deringan telepon untuknya. Itu berarti ia harus berpayah-payah menuruni anak-anak tangga yang sudah dikutuknya sejak balita.
“Tita, cepetan dong. Kasihan Maya-nya. Sudah menunggu lama.”
“Iya, iya. Tita juga lagi sedang turun kok, Ma.”
Dulu, anak-anak tangga selalu menjadi musuhnya. Makanya, ia mengutuk anak-anak tangga yang selalu menyandung kaki serta kruknya sehingga suatu waktu sering membuatnya terpelanting. Itu dulu. Dulu sekali. Sebelum ia menyadari betapa pentingnya kemandirian yang ditanamkan orangtua kepadanya. Dulu juga ia pernah berpikir, kamarnya yang terletak di lantai atas sungguh jauh dari representatif.
Representatif yang ia maksud adalah, kamar untuknya tidak seharusnya berada di loteng. Bagaimana mungkin anak cacat seperti ia tidak diberi fasilitas yang comfortable. Paling tidak, kemudahan-kemudahan untuknya yang tidak memiliki sepasang kaki normal layaknya gadis-gadis lain. Tapi Mama dan Papa sama sekali tidak membedakannya dengan Nina, kakak tunggalnya yang terlahir dalam keadaan sempurna. Semuanya sama.
Tita yang cacat fisik karena polio pun bukan merupakan alasan untuk dilimpahi jatah kasih sayang berlebihan. Itulah sebentuk pembelajaran baginya. Penggemblengan yang baru ia mafhumi manfaatnya saat menginjak SMP.
***
“Haloooo, May!”
Satu teriakan senada lengkingan knalpot bajaj keluar dari tenggorokan Tita begitu menyambar gagang telepon yang tergeletak di atas meja telepon.
“Hei, kupingku belum budek, tahu!”
Ada umpatan protes di ujung teriakan yang berdesibel tinggi itu. Maya misuh-misuh seperti orang yang sedang terjangkit jantung koroner.
“Sori.”
Ungkapan ringan tanpa nada bersalah, apalagi sesal. Tentu saja ulahnya yang bisa bikin gendang telinga robek itu bikin Maya memberengut. Selalu saja begitu. Sohib kentalnya itu memang over-proaktif. Sehingga kadang-kadang ia merasa sedang berteman dengan titisan prenjak. Heran. Padahal….
“Sori sih sori. Tapi kupingku sudah keburu rusak, nih. Tidak stereo lagi.”
“Wait a minute. Kamu bilang kupingmu kenapa?”
“Aku bilang, kupingku tidak stereo lagi!”
“Tunggu, tunggu. Aku mau ketawa, nih. Ha ha ha!”
“Eh, ketawa lagi!”
“Memangnya walkman apa tidak stereo lagi? Kena-pa tidak sekalian, off surround dan tidak THX lagi?”
Lewat horn telepon, terdengar suara kekeh dari se-berang sana. Pasti anak bertubuh over-size itu sudah tidak manyun lagi akibat ulah Tita Raswana yang bisa bikin pasien ruang tunggu dokter THT bertambah. Gadis gembrot itu kini sudah terpingkal-pingkal sampai suaranya dapat melanglang ke rembulan.
“Tita….”
“Hm, ada apa sih, Cinta? Mengganggu saja. Belum lagi aku ganti seragam, eh kamunya sudah ngebel!”
“Sori. Aku Cuma mau tahu, kamu diundang Kikan tidak?”
“Ya diundanglah! Kikan tuh tidak mungkin melupakan kita. Meski geng kita sudah bubar sejak kita menginjak kelas tiga, tapi kita bertiga kan tetap saudaraan dan masih sering ngumpul. Hm, ada apa sih?”
“Oh, tidak apa-apa. Cuma….”
“Cuma apa?”
“Kamu mau menghadiri acara dia?”
“Ya iyalah! Acara itu kan acara Valentine.”
“Maksudku, di sana kan pasti banyak tamu lain.”
“Hei, May, di mana-mana yang namanya acara dan kondangan itu pasti banyak orang. Memangnya acara bertapa apa?”
Iya, sih. Tapi, aku harus bagaimana dong?!”
“Kamu ini bagaimana, sih. Ya, hadir dong. Memangnya mau mendem di rumah kayak main petak umpet apa?”
“Maksudku, aku mokal….”
“Ya ampun, May. Kapan sih penyakit krisis pedemu itu dapat sembuh?!”
“Ya, aku mokal saja.”
“Mokal sih mokal. Tapi jangan piara tuh mokal kayak ternak, dong!”
Terdengar derai tawa di samping gendang telinga Tita. Maya terkikik dengan tipikal suara yang bisa bikin merinding orang yang mendengarnya di malam Jumat Kliwon.
“Hah, memangnya aku ini sapi apa? Ternak, ternak.”
“Habis….”
“Oke, oke. Let’s to the point. Ta, aku tuh tidak suka yang namanya acara hura-hura.”
Tita mendengus. “Hei, Valentine tuh bukan acara hura-hura. Bukan clubbing. Kamu pikir kita mau dugem apa?”
“Aku tahu. Valentine tuh hari kasih sayang. Tapi sekarang maknanya sudah dipelintir, Ta.”
“Memangnya kumis dipelintir.”
“Shut up your mouth, Ta! Aku lagi serius, nih!”
“Iya, iya. Ada yang lagi serius, nih.”
“Ta, tahu tidak, aku sedari dulu juga tidak suka dengan yang namanya party.”
“Maya, kamu tuh bukan tidak suka party. Tapi kamu sudah kelewat over krisis pede. Ngetem di rumah. Mengurung diri di kamar. Kenapa kamu tidak bisa gaul sedikit, sih?!”
“Tapi….”
“Sudah, May. Hadiri saja.”
“Tapi, aku tidak bisa.”
“Harus bisa! Memangnya acara Valentine Kikan diadakan setiap bulan apa?!”
“Bukan begitu….”
“Acara Valentine yang diadakan sama Kikan terpaut dua hari sebelum ulangtahun dia. Kalau kamu tidak mau menghadiri acara Valentine-nya, ya anggap saja kamu menghadiri pesta hari jadi dia itu. Makanya, Kikan mengadakan sekaligus hari ulangtahunnya dengan hari Valentine. Bagaimana?”
“Aku tahu. Tapi….”
“Aku tahu kamu tidak suka pesta. Aku juga sebetulnya tidak suka sama pesta-pesta. Tapi, harus bagaimana lagi? Kikan kan teman kita. Acara tersebut rutin diselenggarakannya setiap tahun. Lagian, aku tahu kok acara Valentine yang diadakannya itu bukan bermaksud apa-apa. Hanya untuk menggalang persahabatan agar lebih erat saja.”
“Iya, sih. Tapi apa….”
“Oh come on, May. Kenapa sih kamu jadi manja dan cengeng kayak anak kecil begitu sampai harus dibujuk rayu supaya mengikuti acara Valentine itu?”
“Maksudku….”
“Sori, May. Kali ini aku tidak mau mendengar alasan apapun. Kamu ikut, atau anggap saja persahabatan kita ini sudah putus!”
“Lho, kok begitu sih, Ta?!”
“Habis, aku harus bagaimana lagi untuk membujuk kamu supaya tidak keras kepala memangkiri acara Kikan itu.”
“Tapi….”
“Kikan adalah saudara kita. Masa sih acara dia yang setahun sekali itu kamu mangkiri?”
“Bukan maksud aku….”
“Pokoknya aku tidak mau mendengar alasan lagi, May. Aku tahu kamu minderan karena bertubuh sejumbo gajah! Betul, kan?”
“Ka-kamu…!”
“Sori, May. Bukan maksud aku menghina kamu. Tapi, jangan seketerlaluan begitu dong menghukum diri sendiri. Kamu tahu, aku ini pincang! Polio yang aku derita sejak balita telah menghancurkan kesempurnaan fisik seorang gadis. Tapi, aku tidak minder. Aku tidak malu. Kenapa? Karena aku sadar apa yang telah menimpa kita, seburuk dan sepahit apapun, semuanya telah menjadi suratan takdir. Ini cobaan buat kita. Untuk apa disesali?! Lagipula, kita ini hidup di dalam keanekaragaman dunia. Kamu tidak mungkin dapat menghindar dan mengucilkan diri terus-menerus. Kita harus bersosialisasi. Sebab itulah konsekuensi kita yang terlahir sebagai manusia.”
“Ta-tapi….”
Terdengar suara isak tangis di seberang sana. Maya sesenggukan. Suaranya terdengar sember. Tita membuang napas. Seperti menyesali kalimatnya yang sarkastis.
“Sori, May. Aku tidak bermaksud menggurui kamu….”
“Ti-tidak, Ta. Kamu benar. Selama ini aku terlalu kerdil mengartikan keberadaan dan jatidiri aku sendiri. Selama ini aku terlalu memandang rendah diri aku sendiri. Aku tidak pede. Aku terlalu takut menghadapi cemoohan orang-orang yang aku anggap lebih sempurna dari aku. Aku yang salah, aku yang salah, Ta!”
Tita menghela napas lega. “Ya sudahlah, May. Mulai detik ini kamu harus pede, dong. Semua manusia sama di mata Tuhan. Lagian, semua manusia tidak ada yang sempurna, kok. Masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Kalau kamu menganggap diri kamu jelek, jelek secara fisik, tapi kamu mungkin memiliki kecantikan batin yang bernama inner beauty. Benar tidak?”
Sunyi. Maya di seberang sana seperti terdiam menyimak. Tercenung untuk beberapa saat lamanya ketika Tita masih melanjutkan cerocosan moralnya. Meski masih menitikkan airmata, ia akhirnya mafhum apa yang dikatakan Tita. Bahwa semua manusia sama di mata Tuhan.
“Hei, May! Kamu masih dengar aku, kan?!”
“I-iya. Aku masih dengar, kok.”
“Nah, kalau begitu, aku jemput kamu besok petang ke Kikan’s Valentine. Jam enam. Ingat, jangan molor.”
“Oke. Thanks, Ta.”
“Bye.”
“Bye juga.”
“Eh, tunggu, May! Jangan tutup dulu!”
“Apa?”
“Pakai baju pink, ya?” (blogkatahatiku.blogspot.com)