Foto: Dok KATA HATIKU |
Ini bukan date-nya yang pertama. Entah sudah berapa kali cewek centil itu mengenalkannya kepada cowok-cowok yang tidak jelas bibit-bobot-bebetnya. Bahkan banyak wajah cowok yang sudah tidak diingatnya persis lagi. Semuanya sukses ditolaknya setelah kencan pertama. Ditolak, karena sama sekali tidak ada yang masuk dalam kategori ‘sreg’. Tapi tentu saja tidak dengan sertamerta dia menampik mereka. Dia memiliki seperangkat rasa terima kasih. Toh Aretha berbuat begini untuk kebaikannya juga.
Dua bulan lalu, Aretha pernah mengenalkan seorang cowok dengan garansi seumur hidup. Artinya, dia bakal cocok dengan cowok itu. Dijamin bakal sampai ke pelaminan.
“Huh, memangnya barang elektronik apa, pakai garansi segala macam. Seumur hidup pula!”
Dia mengumpat begitu pada waktu itu. Namun Aretha mengatupkan kedua telapak tangannya ke dada tanda memohon ‘please’. Kalau kali ini dia sampai ngotot begitu, sudah barang tentu ada hal yang bukan tanpa alasan.
Dan kemarin, secara sepihak serta setengah memaksa dia membuat appointment untuk mempertemukan mereka kembali. Hari ini. Acaranya rada-rada formil meski tidak perlu memakai pakaian pesta yang BDH alias ‘bikin dagangan hancur’ alias ribet. Hanya JJS nongkrong di kafe, begitu katanya.
Tidak ada penolakan atas alasan apapun. Gadis itu pergi begitu saja setelah mengultimatum dengan stempel kalimatnya yang sesahih materai tempel. Membuatnya kemekmek dengan beragam stori.
Satu hari sebelum cinta. Dia mendadak menggigil kedinginan di siang bolong.
***
“Aku kasihan sama kamu.”
“Memangnya aku gembel yang minta dibelaskasihani.”
“Tentu saja bukan.”
“Jadi?”
“Jadi aku ingin kamu tuh juga punya gandengan.”
“Hei, memangnya aku motor apa?”
“Kamu jangan pura-pura.”
“Tentu maksud kamu bukan ‘kura-kura dalam perahu pura-pura tidak mau’, kan?”
“Kurang lebih sama.”
“Margaretha Nadya Esterina Simatupang!”
“Yap.”
“Untuk apa?”
“Kamu sahabatku.”
“Kontribusi apa yang pernah kulakukan untukmu….”
“Eit, jangan bicara balas jasa di sini.”
“Tapi….”
“Untuk hal ini, tidak ada tapi-tapian.”
“Seumur-umur aku tidak bakal dapat membalas jasamu.”
“Aku bukan biro jasa.”
“Kamu kelewat baik.”
“Sama semua orang juga aku baik, kok. Lagian, semua yang kulakukan untukmu memang tanpa pamrih.”
“Tapi….”
“Kamu pikir, aku akan menagih….”
“Bukan begitu….”
“Kalau begitu….”
“Etha, kapan sih kamu mulai mikirin diri kamu sendiri. Setiap hari kamu selalu membantu orang lain sehingga kamu melupakan dirimu sendiri.”
“Orang senang aku ikut bahagia.”
“Tentu saja itu merupakan hal mulia. Tapi, kalau sampai kamu menelantarkan dirimu sendiri untuk kepentingan orang lain, itu kan tidak fair.”
“Tapi aku bahagia, Valny.”
“Oke, oke. Tapi, jangan bilang sampai nenek-nenek kamu baru dapat gacoan. Comblangin orang lain sampai-sampai jodoh sendiri saja dilupain!”
Valny menghirup udara dalam-dalam. Aretha memang gadis paling aneh yang pernah dikenalnya. Solidaritasnya sebagai sahabat melebihi saudara sekandung. Padahal, gadis itu terlahir dari keluarga yang sangat mapan. Dua hotel bintang lima serta sebuah hipermarket waralaba asal Perancis di Jakarta merupakan saham mayoritas ayahnya. Perfeksitas yang jarang dimiliki oleh gadis-gadis lainnya. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat dengan jiwa sosialnya yang tinggi.
“Tentu saja aku tidak ingin semenderita begitu. Kamu pikir enak apa pacaran ala nenek-nenek. Apa-apa juga tidak bisa. Memangnya bisa pacaran avonturir seperti kala remaja? Sama-sama bungy jumping, misalnya?”
“Hihihi. Itu sih masih mending….”
“Lho….”
“Soalnya, kalau pacaran ala nenek-nenek, takutnya sih gigi palsu mereka akan nyangkut kalau sedang kiss, Etha.”
“Hahaha….”
“Itu berarti puber kelima puluh lima, dong.”
“Bukan, bukan. Itu sih sudah melewati pacaran emas, Val.”
“Pacaran platinum dong, namanya.
“Hihihi….”
Aretha memang selalu begitu. Tidak pernah memedulikan dirinya sendiri. Setahunya, bukan tidak banyak cowok sekeren model mendekatinya. Hanya dia saja yang menggebahnya seperti mengusir tawon. Bukan itu saja celakanya. Dia malah menyodorkan cowok-cowok ciamik itu kepada teman-teman ceweknya. Satu per satu dicomblangin. Sebagian besar di antaranya sudah pada jadian. Bukankah itu hal yang paling bodoh di dunia?!
Namun Aretha selalu mengelak kalau digurui. Dia bilang kalau jodoh itu tidak akan lari ke mana.
“Tak akan lari gunung diuber.”
“Tapi kamu bakal terbirit-birit dikejar uban.”
“Don’t worry be happy.”
“Kamu selalu begitu. Kapan sih kamu dapat serius dengan masa depanmu sendiri?”
“Apa aku kelihatan tidak pernah serius?”
“Kamu adalah work a holic girl. Aku tidak kuatir untuk urusan lainnya semisal sekolahan ataupun masa depan profesi kamu nantinya. Tapi, untuk soal gacoan kamu tidak pernah dapat serius.”
“Forget it, Val. Kamu jangan mengalihkan perkara. Kok ganti kamu yang comblangin aku?”
“Kamu masuk dalam warning. Kamu yang seharusnya merupakan obyek dalam perkara comblang-comblangan itu. Bukannya aku.”
“Tentu saja kamu yang lebih penting. Kalau tidak, mana mau aku berkorban perasaan begitu terhadap saudara sepupuku itu.”
“Tapi….”
“Jeffry itu baik….”
“Dia….”
“Kamu yang kelewat pesimistis dan rendah diri. Belum apa-apa kamu sudah mundur.”
“Levelnya kelewat tinggi….”
“Dia rela merendahkan voltage-nya, berdiri sejajar dengan level rendahmu itu! Dia bilang begitu ke aku, kok. Tapi, kamunya saja yang sudah kadung menutup pintu hatimu rapat-rapat.”
“Hei, aku bukan permen yang lupa pada bungkusnya, Non. Kalaupun dia merendahkan levelnya sampai jongkok menyusur tanah sekalipun, belum tentu bokap-nyokapnya interest sama aku.”
“Huh, kamu ini! Belum berperang sudah kalah. Atas dasar dan alibi apa kamu mengklaim kalau bokap-nyokapnya tidak suka sama kamu, sementara pacaran saja belum.”
“Aku tidak mau disebut ‘pungguk yang merindukan bulan’.”
“Siapa bilang kamu ‘pungguk yang merindukan bulan’. Kamu itu ‘landak yang merindukan matahari’.”
“Hei… kamu ngeledek aku, ya?”
“Habis, rambut kamu pendek berdiri kaku begitu. Lagian, kamunya juga yang kelewat minderan, sih.”
“Lebih baik memiliki hormon minder ketimbang hormon adrenalin seperti gadis-gadis centil geng Nunu cs. Daripada malu-maluin, mending mengangkat bendera putih. Kamu masih ingat kan, bagaimana mokal-nya Nunu saat ditolak mentah-mentah oleh Pramudia. Sms cintanya dibacakan di depan anak-anak sekelas. Satu sekolah juga tahu. Ih, kalau aku jadi Nunu, pasti aku sudah gantung diri.”
“Nah, karenanya itu kamu harus masuk UGD RSCM.”
“Apaan itu?”
“Unit Gawat Darurat – Rumah Sakit Cinta Muda-Mudi.”
“Hei, kamu ini….”
“Kamu membutuhkan segera pertolongan pertama sebelum jodohmu tidak dapat diselamatkan, dijemput sang malaikatulmaut.”
“Hei… asal kamu, ya!”
“Come on, Val. Jeffry itu anak rumahan. Dia bukan tipe cowok bunglon. Cowok lainnya yang suka gonta-ganti cewek kayak tukar baju. Lagian, aku duluan yang akan menggorok lehernya kalau dia macam-macam sama sohib kentalku. Trust me, please!”
“Hm, aku tahu dia baik….”
“So, apa lagi?”
Valny sadar apa yang selama ini diperjuangkan Aretha. Bukan dia menolak niat baik sahabatnya sejak di kelas satu SMP itu. Bukan. Hanya saja, dia merasa tidak sepadan dengan sepupu gadis kaya itu. Jadi, diputuskannya untuk bermain petak umpet. Menghindari cowok itu dengan berbagai alasan.
Tapi kali ini dia tidak dapat menghindar lagi. Gadis blaster Batak-Perancis itu sudah mengancam akan membekukan persahabatan, sampai ada keputusan yang jelas tentang persetujuannya untuk diajak kencan pertama. Tentu saja dia tahu kalau itu cuma gurauan yang dikemas dalam mimik serius setengah memohon. Tapi melihat mimiknya yang malah terasa lucu itu, dia jadi tidak tega untuk menolaknya lagi. Lagipula, Jeffry merupakan produk unggul jenis blaster yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Ganteng, baik, dan tajir!
“Valny…!”
Gadis tomboi itu terkesiap. Lamunannya tergebah, melayang sampai ke angkasa raya. Aretha menepuk pundaknya, memasang wajah dan cengir tanpa dosa ke arahnya.
“Sori, kami terlambat. Biasa, kena macet,” ujarnya enteng seringan kapas.
Valny tergeragap. Hatinya berdetak melihat cowok sepupu Valny itu. Semakin keren. Jauh lebih keren ketimbang beberapa bulan yang lalu saat dia terakhir kali melihatnya. Sekarang, mungkin dia harus menghimpun keberanian untuk menghadapi cowok yang diperkenalkan Aretha itu kepadanya. Sebelum perasaan kurang pedenya itu mengerdilkan segalanya.
Ya, sebelum segalanya menjadi kerdil. (blogkatahatiku.blogspot.com)
0 comments:
Post a Comment