Oleh Effendy Wongso
Foto: Effendy Wongso |
Ada Pangeran tampan berstola emas. Sepasang mata birunya sejuk membuai, teduh dan berkilau serupa mute delima yang menghiasi gigir mahkotanya. Sosok dari jauh itu selalu hadir dalam mimpi-mimpi malamnya. Lalu gadis puak bangsawan itu terobsesi dengan bunga tidur yang harum mewangi. Diwujudkannya afeksi itu ke dalam setiap liuk lafaz hidupnya. Sampai-sampai ia serupa sano.
“Oh, Dewiku yang Purna,” seseorang menyapanya dari belakang. “Ada apa gerangan denganmu sampai bermuram durja begitu?!”
“Ayahanda, Saka Kencana nan Agung,” balasnya dengan suara lamat. “Maafkan Ananda yang selalu membuat masalah di istana!”
Lelaki berjubah emas itu tersenyum dengan rupa subtil. “Ayahanda sedih bila engkau lafaz segala dewata kehilangan permata keceriaan.”
“Bukannya maksud Ananda menyusahkan Ayahanda saat ini. Tetapi….”
Gadis aristokrat itu terdiam dengan bibir kemu. Mungkinkah mimpi akan menjadi kenyataan bila pihak istana turut campur dalam urusan pribadinya?!
“Ada apa, Putri Nawang Wulan?”
“Ananda digelisahkan oleh serangkaian mimpi, Ayahanda Saka Kencana nan Agung!”
“Ceritakanlah.”
“Sudah dua windu Ananda bermimpi tentang Pangeran dari Negeri Nova.”
“Siapakah dia, Dewiku nan Purna?”
“Ananda pangling. Pangeran merupakan jelmaan rambun nova. Sepasang matanya seperti gemintang di langit barat. Dia datang sesaat dengan kinasih, lalu menghilang dirangsa kelam. Kehadirannya merupakan sukacita yang tak terkira bagi Ananda. Kehilangan dia adalah nestapa yang paling dalam bagi Ananda, Ayahanda Saka Kencana nan Agung. Ananda sakit ketika mengetahui hati Ananda telah diculiknya, dan tak pernah kembali lagi!”
“Jangan khawatir, Dewiku nan Purna! Ayahanda berjanji akan mencarinya ke seluruh pelosok semesta!” hibur lelaki berstola berlian itu dengan kalimat bijak. “Ayahanda akan mengadakan sayembara akbar untuk mengundang Pangeran impianmu itu.”
Gadis itu mengurai simpul bibir. Tersenyum dengan sepasang mata berbinar riang. Sang Pangeran pujaan hati akan dipertemukan untuknya. Obsesinya adalah sukacita yang tiada terkira!
***
“Hahaha….”
Rio terbahak sampai matanya berlinang airmata. Anak-anak cowok mengekori tawanya. Seperti paduan suara. Tapi tentu saja tidak semerdu koor litani di Katedral. Aretha geleng-geleng kepala. Tidak kuasa menggebah hobi laten Rio yang deman mengusili kesenangan orang lain.
“Akulah Pangeran dari Negeri Nova, Sang Putri!” teriak Rio, berdiri berkacak pinggang di depan kelas.
Aretha menutup matanya dengan kedua belah telapak tangan. Ia ngeri membayangkan peristiwa yang akan terjadi. Valny belum tahu kalau diarinya telah dibajak oleh cowok bengal itu. Dibacakan dan dijadikan bahan lelucon mengurai tawa seluruh penghuni kelas. Gadis itu tengah mewakili kelas mereka dalam rapat bulanan dengan Ketua Kelas lainnya di kantor Kepala Sekolah. Sebagai Ketua Kelas ia memang wajib mengikuti agenda sekolah tersebut. Melaporkan dan memaparkan program dan jadual kelasnya.
“Hahaha… tak disangka tak dinyana. Ternyata, Sang Ketua Kelas kita adalah Putri Nawang Wulan yang sedang mencari Pangeran impian. Nah, hamba adalah dayang-dayang istana, menyampaikan maklumat Yang Mulia Baginda Raja Saka Kencana. Barang siapa yang merasa dirinya Pangeran dari Negeri Nova, dimohon untuk segera keluar dengan imbalan semangkuk mi bakso!”
Kembali guyonan itu disambut koor tawa anak-anak cowok yang diimbuhi dengan suitan melengking nakal. Beberapa anak cewek malah meringkuk takut-takut. Menyesali keputusan nekat Rio yang menggeragas isi tas Valny di saat gadis itu tengah rapat.
“Hentikan!” Aretha sudah tidak tahan. Ia berdiri dari duduknya di bangku. Mengentakkan keras kakinya ke lantai. “Kalian sudah keterlaluan!”
Rio menghentikan tawanya. Bibirnya menguncup. Tapi sedetik kemudian sebelah sisi pelepah bibirnya itu sedikit mencuat, merimbunkan kedongkolan di hati Aretha.
“Kamu sudah melecehkan privacy orang, Rio! Diari adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Mana bisa kalian membaca seenaknya tanpa seizin pemiliknya!”
“Siapa suruh dia bawa-bawa diari ke sekolah?” elak Rio enteng. “Lagian, kenapa juga isinya dongeng picisan begitu!”
“Itu hak Valny mau menulis tentang apa saja, Rio!”
“Iya, sih. Tapi, kan berarti saingan sama HC Anderson, penulis dongeng legendaris dunia, dong!” Rio kembali terbahak. Suaranya tadi sengaja dikeraskan agar anak-anak kembali tertawa. “Eh, kapling kanak-kanak yang seharusnya untuk balita itu direbut pula sama dia. Tega, ya?!”
Ujung kalimat Rio disambut koor yang lebih riuh. Suasana di kelas semakin ramai. Untung ruangan rapat jauh dari lokasi kelas. Sehingga nyaris semua siswa bereuforia meluapkan tawa mereka tanpa harus terdengar dari ruang rapat. Dan diari Valny semakin menjadi korban akibat dibedah habis oleh Rio.
“Rio!” Aretha sudah melangkah mendekati Rio berdiri. Hendak merampas diari yang masih berada di tangan cowok jangkung itu. “Lekas kembalikan diarinya!”
“Eit, eit,” Rio mengelakkan badan, masih berusaha menghindari sepasang tangan Aretha yang hendak merebut diari bergambar sampul Winne The Pooh dari tangannya. “Belum dibedah habis dalam resensi buku mading.”
“Ka-kamu keterlaluan, Rio!”
“EGP.”
“Sebentar Valny keburu datang. Kasihan dia!”
Suasana kelas menghening seperti di kuburan. Valny berdiri di bingkai pintu kelas dengan wajah lesi. Bibirnya kemu. Airmatanya berlinang tanpa terasa. Kerongkongannya perih. Ia sudah mengetahui semua kejadian barusan.
Ia tidak masuk ke dalam kelas. Sedetik diputarnya tumit lalu berlari dengan tubuh gemetar menahan isak. Aretha mengejarnya. Sementara itu Rio tampak linglung. Seperti menyesali perbuatannya yang sedikit keterlaluan.
***
“Dia sudah minta maaf, Val!”
Aretha menyampaikan permintaan maaf Rio, sehari setelah kejadian kemarin. Ia datang langsung ke rumah Valny sehabis pulang sekolah tanpa ke rumahnya sendiri terlebih dulu. Hari ini Valny tidak masuk sekolah dengan surat izin sakit yang ditandatangani oleh Maminya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Tha,” desis Valny, duduk memunggung di sandaran tempat tidurnya. Badannya masih diselubung selimut. Dahinya sedikit dititiki keringat. “Aku yang salah, kok. Kenapa juga bawa-bawa diari ke sekolah.”
“Tapi, tidak sepantasnya Rio membaca diarimu di depan kelas,” urai Aretha, duduk di gigir tempat tidur sembari menghapus keringat Valny dengan tissue.
“Iya, sih. Tapi….”
“Aku sudah mendamprat anak itu habis-habisan lho, Val. Dan dia janji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya itu. Dia tidak akan mengganggu privacy orang lain lagi,” ujar Aretha berapi-api. “Lihat, gara-gara perbuatannya itu kamu jadi sakit begini!”
Valny menggeleng pelan. “Tidak. Kebetulan saja aku lagi jatuh sakit. Sebelumnya dalam rapat kemarin, aku sebenarnya sudah tidak enak badan. Cuma flu biasa, kok.”
“Tapi, Rio memperparah penyakitmu!”
“Sudahlah, Tha! Buat apa juga diungkit-ungkit. Anggap saja kemarin aku lagi sedang sial. Nah, itu kan lebih baik daripada kamu mengumpat-umpat terus. Sakitku bisa bertambah parah lho Tha, kalau kamu misuh-misuh begitu.”
Aretha tersenyum mendengar gurauan Valny.
“Seharusnya aku tidak membawa diari itu ke sekolah,” sahut Valny seperti menggumam. “Diari kan merupakan tempat curhat. Mirip underwear yang seharusnya di simpan di tempat yang paling rahasia. Jadi, aku saja yang lalai sehingga diariku kebaca orang lain.”
Aretha menggeleng. “Tapi, kamu berhak membawa diari itu ke mana saja, Val. Karena diari merupakan teman yang paling setia, tempat menumpahkan unek-unek dan kekesalan. Kapan saja kamu dapat menuangkan ungkapan hati yang sifatnya paling pribadi sekalipun. Tidak di rumah, tidak di sekolah. Pokoknya, di mana saja.”
“Makanya, aku terus membawa diariku itu ke mana-mana, Tha. Karena….” Valny menghentikan kalimatnya. Ia menunduk dengan rupa baur. Ada dua titik airmata yang menggantung di sudut matanya.
“Karena apa, Val?!” tanya Aretha penasaran.
“Karena apa yang aku tulis dalam diari itu merupakan kenangan terakhirku untuk mengenang Papi, Tha!”
“Maksudmu?”
“Sebenarnya dongeng yang ada di dalam diariku itu merupakan karyaku untuk mengaplikasikan wujud Papi dalam kenanganku, Tha. Aku ingat, semasa kecil Papi selalu mendongeng untukku. Setiap hari sebelum aku berangkat tidur, Papilah yang membacakan dongeng-dongeng untukku. Mami waktu itu mengandung Vicky, adik laki-lakiku, sehingga dalam kurun waktu setahun praktis tidak pernah menemani aku tidur. Nah, Papilah yang mendapat tugas meninabobokan aku.”
“Jadi, mendiang Papimu….”
“Papi ibarat baginda raja yang ada dalam dongeng karyaku di diari itu, Tha. Papi selalu menemani aku. Memenuhi semua permintaanku. Menghiburku di kala aku sedang sedih. Aku cinta Papi. Sayang takdir menghendaki lain. Papi tidak berumur panjang. Tuhan memanggilnya tiga tahun lalu saat berada di Amsterdam dalam rangka bisnis. Papi meninggal karena serangan jantung koroner.”
“Ya, Tuhan….”
“Tapi, Papi masih terus berada di dalam hati dan pikiranku, Tha. Sekarang aku hanya dapat menghidupkan tokoh bijak Papi hanya dalam dongeng-dongeng yang aku tulis di diariku itu.”
“Val, aku tidak menyangka….”
“Meski Papi sudah tiada, tapi setiap membaca ulang dongeng-dongeng yang aku tulis dalam diariku itu, aku seperti bersua kembali dengan Papi. Bercakap-cakap dengannya, bercanda, atau berapa saja. Aku bahagia. Sangat bahagia.”
“Sori peristiwa kemarin….”
“Itu insiden. Aku sudah tidak marah, kok. Cuma kemarin aku lari karena merasa Rio melecehkan diariku. Aku merasa dia sedang menginjak-injak harga diri Papi. Padahal….”
“Dia sudah mengakui kesalahannya. Kemarin dia langsung melayangkan penyesalannya padaku, Val. Katanya juga, dia akan kemari untuk minta maaf sama kamu. Kalau perlu berlutut minta maaf di bawah kakimu.”
“Duh, sebegitunya!” Valny sontak tertawa. “Memangnya aku Tuan Putri yang harus disembah sebegitu hormatnya?”
Aretha tertawa, mengiramai bahakan lembut sahabat sebangkunya di kelas itu. Ia merasa lega karena kejadian kemarin sudah surut oleh kearifan Valny. Gadis itu memang memiliki jiwa besar. Dan ia merupakan sosok paling pemaaf yang pernah dikenalnya.
“Eh, Val. Boleh aku bertanya perihal diarimu?”
Valny mengernyitkan keningnya. “Boleh. Memangnya kenapa kamu sungkan-sungkan begitu?”
“Hm, siapa sih tokoh Pangeran dari Negeri Nova yang kamu maksud?”
“Oh, itu hanya khayalan. Seorang Pangeran yang tampan, berasal dari negeri antah berantah, sebuah planet hasil ledakan dahsyat bintang yang biasa disebut supernova. Aku terobsesi dengan astronomi. Makanya tokoh Pangeran itu merupakan jelmaan bintang. Asyik, kan?”
“Oh, I see. Hanya khayalan. Tapi, kenapa juga kamu tidak menunggu Pangeran dari dunia nyata, Val?”
“Maksudmu….”
“Maksudku, sebentar lagi Pangeranmu impianmu itu akan datang kemari. Menjengukmu, sekaligus untuk meminta maaf!”
“Siapa?!”
“Siapa lagi kalau bukan Rio!”
Valny membeliak. Tanpa berkata apa-apa dicubitnya lengan sahabatnya itu dengan gemas. Ia tersenyum dengan pipi memerah.
Sementara itu Aretha terbahak keras. (blogkatahatiku.blogspot.com)