Oleh Effendy Wongso

Foto: Effendy Wongso
Ada Pangeran tampan berstola emas. Sepasang mata birunya sejuk membuai, teduh dan berkilau serupa mute delima yang menghiasi gigir mahkotanya. Sosok dari jauh itu selalu hadir dalam mimpi-mimpi malamnya. Lalu gadis puak bangsawan itu terobsesi dengan bunga tidur yang harum mewangi. Diwujudkannya afeksi itu ke dalam setiap liuk lafaz hidupnya. Sampai-sampai ia serupa sano.
“Oh, Dewiku yang Purna,” seseorang menyapanya dari belakang. “Ada apa gerangan denganmu sampai bermuram durja begitu?!”
“Ayahanda, Saka Kencana nan Agung,” balasnya dengan suara lamat. “Maafkan Ananda yang selalu membuat masalah di istana!”
Lelaki berjubah emas itu tersenyum dengan rupa subtil. “Ayahanda sedih bila engkau lafaz segala dewata kehilangan permata keceriaan.”
“Bukannya maksud Ananda menyusahkan Ayahanda saat ini. Tetapi….”
Gadis aristokrat itu terdiam dengan bibir kemu. Mungkinkah mimpi akan menjadi kenyataan bila pihak istana turut campur dalam urusan pribadinya?!
“Ada apa, Putri Nawang Wulan?”
“Ananda digelisahkan oleh serangkaian mimpi, Ayahanda Saka Kencana nan Agung!”
“Ceritakanlah.”
“Sudah dua windu Ananda bermimpi tentang Pangeran dari Negeri Nova.”
“Siapakah dia, Dewiku nan Purna?”
“Ananda pangling. Pangeran merupakan jelmaan rambun nova. Sepasang matanya seperti gemintang di langit barat. Dia datang sesaat dengan kinasih, lalu menghilang dirangsa kelam. Kehadirannya merupakan sukacita yang tak terkira bagi Ananda. Kehilangan dia adalah nestapa yang paling dalam bagi Ananda, Ayahanda Saka Kencana nan Agung. Ananda sakit ketika mengetahui hati Ananda telah diculiknya, dan tak pernah kembali lagi!”
“Jangan khawatir, Dewiku nan Purna! Ayahanda berjanji akan mencarinya ke seluruh pelosok semesta!” hibur lelaki berstola berlian itu dengan kalimat bijak. “Ayahanda akan mengadakan sayembara akbar untuk mengundang Pangeran impianmu itu.”
Gadis itu mengurai simpul bibir. Tersenyum dengan sepasang mata berbinar riang. Sang Pangeran pujaan hati akan dipertemukan untuknya. Obsesinya adalah sukacita yang tiada terkira!

***

“Hahaha….”
Rio terbahak sampai matanya berlinang airmata. Anak-anak cowok mengekori tawanya. Seperti paduan suara. Tapi tentu saja tidak semerdu koor litani di Katedral. Aretha geleng-geleng kepala. Tidak kuasa menggebah hobi laten Rio yang deman mengusili kesenangan orang lain.
“Akulah Pangeran dari Negeri Nova, Sang Putri!” teriak Rio, berdiri berkacak pinggang di depan kelas.
Aretha menutup matanya dengan kedua belah telapak tangan. Ia ngeri membayangkan peristiwa yang akan terjadi. Valny belum tahu kalau diarinya telah dibajak oleh cowok bengal itu. Dibacakan dan dijadikan bahan lelucon mengurai tawa seluruh penghuni kelas. Gadis itu tengah mewakili kelas mereka dalam rapat bulanan dengan Ketua Kelas lainnya di kantor Kepala Sekolah. Sebagai Ketua Kelas ia memang wajib mengikuti agenda sekolah tersebut. Melaporkan dan memaparkan program dan jadual kelasnya.
“Hahaha… tak disangka tak dinyana. Ternyata, Sang Ketua Kelas kita adalah Putri Nawang Wulan yang sedang mencari Pangeran impian. Nah, hamba adalah dayang-dayang istana, menyampaikan maklumat Yang Mulia Baginda Raja Saka Kencana. Barang siapa yang merasa dirinya Pangeran dari Negeri Nova, dimohon untuk segera keluar dengan imbalan semangkuk mi bakso!”
Kembali guyonan itu disambut koor tawa anak-anak cowok yang diimbuhi dengan suitan melengking nakal. Beberapa anak cewek malah meringkuk takut-takut. Menyesali keputusan nekat Rio yang menggeragas isi tas Valny di saat gadis itu tengah rapat.
“Hentikan!” Aretha sudah tidak tahan. Ia berdiri dari duduknya di bangku. Mengentakkan keras kakinya ke lantai. “Kalian sudah keterlaluan!”
Rio menghentikan tawanya. Bibirnya menguncup. Tapi sedetik kemudian sebelah sisi pelepah bibirnya itu sedikit mencuat, merimbunkan kedongkolan di hati Aretha.
“Kamu sudah melecehkan privacy orang, Rio! Diari adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Mana bisa kalian membaca seenaknya tanpa seizin pemiliknya!”
“Siapa suruh dia bawa-bawa diari ke sekolah?” elak Rio enteng. “Lagian, kenapa juga isinya dongeng picisan begitu!”
“Itu hak Valny mau menulis tentang apa saja, Rio!”
“Iya, sih. Tapi, kan berarti saingan sama HC Anderson, penulis dongeng legendaris dunia, dong!” Rio kembali terbahak. Suaranya tadi sengaja dikeraskan agar anak-anak kembali tertawa. “Eh, kapling kanak-kanak yang seharusnya untuk balita itu direbut pula sama dia. Tega, ya?!”
Ujung kalimat Rio disambut koor yang lebih riuh. Suasana di kelas semakin ramai. Untung ruangan rapat jauh dari lokasi kelas. Sehingga nyaris semua siswa bereuforia meluapkan tawa mereka tanpa harus terdengar dari ruang rapat. Dan diari Valny semakin menjadi korban akibat dibedah habis oleh Rio.
“Rio!” Aretha sudah melangkah mendekati Rio berdiri. Hendak merampas diari yang masih berada di tangan cowok jangkung itu. “Lekas kembalikan diarinya!”
“Eit, eit,” Rio mengelakkan badan, masih berusaha menghindari sepasang tangan Aretha yang hendak merebut diari bergambar sampul Winne The Pooh dari tangannya. “Belum dibedah habis dalam resensi buku mading.”
“Ka-kamu keterlaluan, Rio!”
“EGP.”
“Sebentar Valny keburu datang. Kasihan dia!”
Suasana kelas menghening seperti di kuburan. Valny berdiri di bingkai pintu kelas dengan wajah lesi. Bibirnya kemu. Airmatanya berlinang tanpa terasa. Kerongkongannya perih. Ia sudah mengetahui semua kejadian barusan.
Ia tidak masuk ke dalam kelas. Sedetik diputarnya tumit lalu berlari dengan tubuh gemetar menahan isak. Aretha mengejarnya. Sementara itu Rio tampak linglung. Seperti menyesali perbuatannya yang sedikit keterlaluan.

***

“Dia sudah minta maaf, Val!”
Aretha menyampaikan permintaan maaf Rio, sehari setelah kejadian kemarin. Ia datang langsung ke rumah Valny sehabis pulang sekolah tanpa ke rumahnya sendiri terlebih dulu. Hari ini Valny tidak masuk sekolah dengan surat izin sakit yang ditandatangani oleh Maminya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Tha,” desis Valny, duduk memunggung di sandaran tempat tidurnya. Badannya masih diselubung selimut. Dahinya sedikit dititiki keringat. “Aku yang salah, kok. Kenapa juga bawa-bawa diari ke sekolah.”
“Tapi, tidak sepantasnya Rio membaca diarimu di depan kelas,” urai Aretha, duduk di gigir tempat tidur sembari menghapus keringat Valny dengan tissue.
“Iya, sih. Tapi….”
“Aku sudah mendamprat anak itu habis-habisan lho, Val. Dan dia janji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya itu. Dia tidak akan mengganggu privacy orang lain lagi,” ujar Aretha berapi-api. “Lihat, gara-gara perbuatannya itu kamu jadi sakit begini!”
Valny menggeleng pelan. “Tidak. Kebetulan saja aku lagi jatuh sakit. Sebelumnya dalam rapat kemarin, aku sebenarnya sudah tidak enak badan. Cuma flu biasa, kok.”
“Tapi, Rio memperparah penyakitmu!”
“Sudahlah, Tha! Buat apa juga diungkit-ungkit. Anggap saja kemarin aku lagi sedang sial. Nah, itu kan lebih baik daripada kamu mengumpat-umpat terus. Sakitku bisa bertambah parah lho Tha, kalau kamu misuh-misuh begitu.”
Aretha tersenyum mendengar gurauan Valny.
“Seharusnya aku tidak membawa diari itu ke sekolah,” sahut Valny seperti menggumam. “Diari kan merupakan tempat curhat. Mirip underwear yang seharusnya di simpan di tempat yang paling rahasia. Jadi, aku saja yang lalai sehingga diariku kebaca orang lain.”
Aretha menggeleng. “Tapi, kamu berhak membawa diari itu ke mana saja, Val. Karena diari merupakan teman yang paling setia, tempat menumpahkan unek-unek dan kekesalan. Kapan saja kamu dapat menuangkan ungkapan hati yang sifatnya paling pribadi sekalipun. Tidak di rumah, tidak di sekolah. Pokoknya, di mana saja.”
“Makanya, aku terus membawa diariku itu ke mana-mana, Tha. Karena….” Valny menghentikan kalimatnya. Ia menunduk dengan rupa baur. Ada dua titik airmata yang menggantung di sudut matanya.
“Karena apa, Val?!” tanya Aretha penasaran.
“Karena apa yang aku tulis dalam diari itu merupakan kenangan terakhirku untuk mengenang Papi, Tha!”
“Maksudmu?”
“Sebenarnya dongeng yang ada di dalam diariku itu merupakan karyaku untuk mengaplikasikan wujud Papi dalam kenanganku, Tha. Aku ingat, semasa kecil Papi selalu mendongeng untukku. Setiap hari sebelum aku berangkat tidur, Papilah yang membacakan dongeng-dongeng untukku. Mami waktu itu mengandung Vicky, adik laki-lakiku, sehingga dalam kurun waktu setahun praktis tidak pernah menemani aku tidur. Nah, Papilah yang mendapat tugas meninabobokan aku.”
“Jadi, mendiang Papimu….”
“Papi ibarat baginda raja yang ada dalam dongeng karyaku di diari itu, Tha. Papi selalu menemani aku. Memenuhi semua permintaanku. Menghiburku di kala aku sedang sedih. Aku cinta Papi. Sayang takdir menghendaki lain. Papi tidak berumur panjang. Tuhan memanggilnya tiga tahun lalu saat berada di Amsterdam dalam rangka bisnis. Papi meninggal karena serangan jantung koroner.”
“Ya, Tuhan….”
“Tapi, Papi masih terus berada di dalam hati dan pikiranku, Tha. Sekarang aku hanya dapat menghidupkan tokoh bijak Papi hanya dalam dongeng-dongeng yang aku tulis di diariku itu.”
“Val, aku tidak menyangka….”
“Meski Papi sudah tiada, tapi setiap membaca ulang dongeng-dongeng yang aku tulis dalam diariku itu, aku seperti bersua kembali dengan Papi. Bercakap-cakap dengannya, bercanda, atau berapa saja. Aku bahagia. Sangat bahagia.”
“Sori peristiwa kemarin….”
“Itu insiden. Aku sudah tidak marah, kok. Cuma kemarin aku lari karena merasa Rio melecehkan diariku. Aku merasa dia sedang menginjak-injak harga diri Papi. Padahal….”
“Dia sudah mengakui kesalahannya. Kemarin dia langsung melayangkan penyesalannya padaku, Val. Katanya juga, dia akan kemari untuk minta maaf sama kamu. Kalau perlu berlutut minta maaf di bawah kakimu.”
“Duh, sebegitunya!” Valny sontak tertawa. “Memangnya aku Tuan Putri yang harus disembah sebegitu hormatnya?”
Aretha tertawa, mengiramai bahakan lembut sahabat sebangkunya di kelas itu. Ia merasa lega karena kejadian kemarin sudah surut oleh kearifan Valny. Gadis itu memang memiliki jiwa besar. Dan ia merupakan sosok paling pemaaf yang pernah dikenalnya.
“Eh, Val. Boleh aku bertanya perihal diarimu?”
Valny mengernyitkan keningnya. “Boleh. Memangnya kenapa kamu sungkan-sungkan begitu?”
“Hm, siapa sih tokoh Pangeran dari Negeri Nova yang kamu maksud?”
“Oh, itu hanya khayalan. Seorang Pangeran yang tampan, berasal dari negeri antah berantah, sebuah planet hasil ledakan dahsyat bintang yang biasa disebut supernova. Aku terobsesi dengan astronomi. Makanya tokoh Pangeran itu merupakan jelmaan bintang. Asyik, kan?”
“Oh, I see. Hanya khayalan. Tapi, kenapa juga kamu tidak menunggu Pangeran dari dunia nyata, Val?”
“Maksudmu….”
“Maksudku, sebentar lagi Pangeranmu impianmu itu akan datang kemari. Menjengukmu, sekaligus untuk meminta maaf!”
“Siapa?!”
“Siapa lagi kalau bukan Rio!”
Valny membeliak. Tanpa berkata apa-apa dicubitnya lengan sahabatnya itu dengan gemas. Ia tersenyum dengan pipi memerah.
Sementara itu Aretha terbahak keras. (blogkatahatiku.blogspot.com)
Oleh Weni Lauwdy Ratana

Foto: Dok KATA HATIKU
Tidak seperti biasanya Valny segelisah ini. Berkali-ka­­li diliriknya jam ta­­ngan army-look yang melingkar di perge­la­­ngan tangan kirinya. Sudah ham­pir se­jam. Namun gadis si Cu­­cakrawa itu sama sekali belum me­no­ngol­kan cuping hi­dung­nya yang dicocoki sebutir giwang berlian. Digebahnya ke­­­­pe­natan dengan mengangin-anginkan badan, duduk di gi­gir trotoar jalan depan rumahnya. Me­nung­gu dan menunggu. Ten­tu saja ini pekerjaan yang pa­ling mem­bo­san­kan se­du­nia. Dan hal itulah yang membuatnya menggerutu sepan­jang Su­ngai Nil.
Ini bukan date-nya yang pertama. Entah sudah bera­pa kali cewek cen­til itu mengenalkannya kepada cowok-co­­wok yang tidak jelas bibit-bobot-bebet­nya. Bahkan banyak wa­­jah cowok yang sudah tidak diingatnya persis la­gi. Se­mu­­a­n­ya sukses dito­lak­nya setelah kencan pertama. Ditolak, ka­re­­na sama sekali ti­dak ada yang masuk dalam ka­­tegori ‘sreg’. Tapi ten­tu saja ti­dak dengan ser­ta­­merta dia menam­pik me­reka. Dia memiliki sepe­rang­kat ra­sa terima kasih. Toh Aretha berbuat begini untuk kebaikannya juga.
Dua bulan lalu, Aretha pernah mengenalkan se­o­rang cowok dengan ga­­­­­ran­­si seumur hidup. Artinya, dia bakal co­cok dengan cowok itu. Dijamin ba­­­kal sampai ke pe­la­min­an.
“Huh, memangnya barang elektronik apa, pakai ga­ran­si segala ma­cam. Se­umur hidup pula!”
Dia mengumpat begitu pada waktu itu. Namun Are­tha mengatupkan ke­dua telapak tangannya ke dada tanda me­mohon ‘please’. Kalau kali ini dia sam­pai ngotot begitu, su­dah barang tentu ada hal yang bukan tanpa alasan.
Dan kemarin, secara sepihak serta setengah me­mak­sa dia membuat ap­pointment untuk mempertemukan me­reka kembali. Hari ini. Acaranya ra­da-rada for­mil meski ti­dak perlu memakai pakaian pesta yang BDH alias ‘bikin da­ga­ngan han­cur’ alias ribet. Hanya JJS nong­­krong di kafe, be­gi­tu katanya.
Tidak ada penolakan atas alasan apapun. Gadis itu per­gi begitu sa­ja se­telah mengultimatum dengan stempel ka­limatnya yang sesahih materai tem­­­pel. Membuatnya ke­mek­mek dengan beragam stori.
Satu hari sebelum cinta. Dia mendadak menggigil ke­dinginan di siang bo­long.

***

“Aku kasihan sama kamu.”
“Memangnya aku gembel yang minta dibelaska­si­hani.”
“Tentu saja bukan.”
“Jadi?”
“Jadi aku ingin kamu tuh juga punya gandengan.”
“Hei, memangnya aku motor apa?”
“Kamu jangan pura-pura.”
“Tentu maksud kamu bukan ‘kura-kura dalam pera­hu pura-pura tidak mau’, kan?”
“Kurang lebih sama.”
“Margaretha Nadya Esterina Simatupang!”
“Yap.”
“Untuk apa?”
“Kamu sahabatku.”
“Kontribusi apa yang pernah kulakukan untukmu….”
“Eit, jangan bicara balas jasa di sini.”
“Tapi….”
“Untuk hal ini, tidak ada tapi-tapian.”
“Seumur-umur aku tidak bakal dapat membalas ja­sa­mu.”
“Aku bukan biro jasa.”
“Kamu kelewat baik.”
“Sama semua orang juga aku baik, kok. Lagian, se­mua yang kulakukan untukmu memang tanpa pamrih.”
“Tapi….”
“Kamu pikir, aku akan menagih….”
“Bukan begitu….”
“Kalau begitu….”
“Etha, kapan sih kamu mulai mikirin diri kamu sen­di­ri. Setiap hari ka­mu selalu membantu orang lain sehingga ka­mu melupakan dirimu sendiri.”
“Orang senang aku ikut bahagia.”
“Ten­tu saja itu merupakan hal mulia. Tapi, kalau sam­pai kamu mene­lan­tar­kan dirimu sendiri untuk kepen­ting­an orang lain, itu kan tidak fair.”
“Tapi aku bahagia, Valny.”
“Oke, oke. Tapi, jangan bilang sampai nenek-nenek ka­mu baru dapat ga­coan. Comblangin orang lain sampai-sam­pai jodoh sendiri saja dilupain!”
Valny menghirup udara dalam-dalam. Aretha me­mang gadis paling aneh yang pernah dikenalnya. Solidaritas­nya sebagai sahabat melebihi sau­da­ra se­kan­­­­­dung. Padahal, ga­dis itu terlahir dari keluarga yang sangat ma­pan. Dua ho­tel bintang lima serta sebuah hipermarket waralaba asal Peran­­­cis di Jakarta me­ru­pakan saham mayoritas ayahnya. Per­feksitas yang ja­rang di­mi­liki oleh gadis-gadis lainnya. Dia merasa sangat beruntung me­mi­li­ki saha­bat dengan jiwa so­si­­al­nya yang tinggi.
“Tentu saja aku tidak ingin semenderita begitu. Ka­mu pikir enak apa pa­caran ala nenek-nenek. Apa-apa juga ti­dak bisa. Memangnya bisa pacaran avon­turir seperti kala re­ma­ja? Sama-sama bungy jumping, misalnya?”
“Hihihi. Itu sih masih mending….”
“Lho….”
“Soalnya, kalau pacaran ala nenek-nenek, takutnya sih gigi palsu me­re­ka akan nyangkut kalau sedang kiss, Etha.”
“Hahaha….”
“Itu berarti puber kelima puluh lima, dong.”
“Bukan, bukan. Itu sih sudah melewati pacaran emas, Val.”
“Pacaran platinum dong, namanya.
“Hihihi….”
Aretha memang selalu begitu. Tidak pernah meme­du­likan dirinya sen­diri. Setahunya, bukan tidak banyak co­wok sekeren model mendekatinya. Ha­­nya dia saja yang meng­gebahnya seperti mengusir tawon. Bukan itu saja cela­ka­­nya. Dia malah menyodorkan cowok-cowok ciamik itu ke­pada teman-teman ceweknya. Satu per satu dicomblangin. Se­ba­gian besar di antaranya su­dah pada jadian. Bu­kankah itu hal yang paling bodoh di dunia?!
Namun Aretha selalu mengelak kalau digurui. Dia bi­lang kalau jodoh itu tidak akan lari ke mana.
“Tak akan lari gunung diuber.”
“Tapi kamu bakal terbirit-birit dikejar uban.”
“Don’t worry be happy.”
“Kamu selalu begitu. Kapan sih kamu dapat serius de­ngan masa de­pan­mu sendiri?”
“Apa aku kelihatan tidak pernah serius?”
“Kamu adalah work a holic girl. Aku tidak kuatir un­tuk urusan lainnya semisal sekolahan ataupun masa depan pro­fesi kamu nantinya. Tapi, untuk soal ga­coan kamu tidak per­nah dapat serius.”
“Forget it, Val. Kamu jangan mengalihkan perkara. Kok ganti kamu yang comblangin aku?”
“Kamu masuk dalam warning. Kamu yang seharus­nya merupakan ob­yek da­lam perkara comblang-comblangan itu. Bukannya aku.”
“Tentu saja kamu yang lebih penting. Kalau tidak, ma­na mau aku ber­kor­ban perasaan begitu terhadap sauda­ra sepupuku itu.”
“Tapi….”
“Jeffry itu baik….”
“Dia….”
“Kamu yang kelewat pesimistis dan rendah diri. Be­lum apa-apa kamu sudah mundur.”
“Levelnya kelewat tinggi….”
“Dia rela merendahkan voltage-nya, berdiri sejajar de­ngan level ren­dah­mu itu! Dia bilang begitu ke aku, kok. Tapi, kamunya saja yang sudah kadung menutup pintu ha­ti­mu rapat-rapat.”
“Hei, aku bukan permen yang lupa pada bung­kus­nya, Non. Kalaupun dia merendahkan levelnya sampai jong­kok menyusur tanah sekalipun, belum tentu bokap-nyokap­nya interest sama aku.”
“Huh, kamu ini! Belum berperang sudah kalah. Atas da­sar dan alibi apa kamu mengklaim kalau bokap-nyokap­nya tidak suka sama kamu, semen­ta­ra pacaran saja belum.”
“Aku tidak mau disebut ‘pungguk yang merindukan bu­lan’.”
“Siapa bilang kamu ‘pungguk yang merindukan bu­lan’. Kamu itu ‘lan­dak yang merindukan matahari’.”
“Hei… kamu ngeledek aku, ya?”
“Ha­bis, rambut kamu pendek berdiri kaku begitu. La­gian, kamunya juga yang kelewat minderan, sih.”
“Lebih baik memiliki hormon minder ketimbang hor­mon adrenalin se­per­­ti gadis-gadis centil geng Nunu cs. Dari­pa­da malu-maluin, mending me­ng­ang­kat bendera putih. Ka­mu masih ingat kan, bagaimana mokal-nya Nunu sa­at dito­lak mentah-mentah oleh Pramudia. Sms cintanya dibaca­kan di de­pan anak-anak se­kelas. Satu sekolah juga tahu. Ih, ka­lau aku jadi Nunu, pas­ti aku sudah gan­tung diri.”
“Nah, karenanya itu kamu harus masuk UGD RSCM.”
“Apaan itu?”
“Unit Gawat Darurat – Rumah Sakit Cinta Muda-Mu­di.”
“Hei, kamu ini….”
“Kamu membutuhkan segera pertolongan pertama se­belum jodohmu ti­dak da­pat diselamatkan, dijemput sang malaikatulmaut.”
“Hei…  asal kamu, ya!”
“Come on, Val. Jeffry itu anak rumahan. Dia bukan ti­pe cowok bunglon. Co­wok lainnya yang suka gonta-ganti ce­wek kayak tukar baju. La­gi­an, aku du­lu­an yang akan meng­gorok lehernya kalau dia macam-macam sa­ma sohib ken­tal­ku. Trust me, please!”
“Hm, aku tahu dia baik….”
“So, apa lagi?”
Valny sadar apa yang selama ini diperjuangkan Are­tha. Bukan dia me­no­lak niat baik sahabatnya sejak di kelas sa­tu SMP itu. Bukan. Hanya sa­ja, dia me­ra­sa tidak sepadan de­ngan sepupu gadis kaya itu. Jadi, diputuskannya untuk ber­­­main petak umpet. Menghindari cowok itu dengan berba­gai alasan.
Tapi kali ini dia tidak dapat menghindar lagi. Gadis bla­ster Batak-Perancis itu sudah mengancam akan membe­ku­­kan persahabatan, sampai ada ke­pu­­­­tusan yang jelas ten­tang persetujuannya untuk diajak kencan perta­ma. Tentu sa­ja dia ta­hu kalau itu cuma gurauan yang dikemas dalam mi­mik seri­us sete­ngah memo­hon. Tapi melihat mimiknya yang ma­lah terasa lucu itu, dia jadi tidak tega un­tuk menolaknya la­gi. Lagipula, Jeffry merupakan pro­duk unggul jenis blaster yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Ganteng,  ba­ik, dan ta­jir!
“Valny…!”
Gadis tomboi itu terkesiap. Lamunannya tergebah, me­layang sampai ke ang­kasa raya. Aretha menepuk pun­dak­nya, memasang wajah dan cengir tan­­pa do­sa ke arah­nya.
“Sori, kami terlambat. Biasa, kena macet,” ujarnya enteng seringan ka­pas.
Valny tergeragap. Hatinya berdetak melihat cowok se­pupu Valny itu. Se­makin keren. Jauh lebih keren ketim­bang beberapa bulan yang lalu saat dia ter­­ak­hir kali meli­hat­nya. Sekarang, mungkin dia harus menghimpun ke­be­­­rani­an un­­tuk menghadapi cowok yang diperkenalkan Aretha itu ke­pa­da­nya. Sebelum pe­ra­saan kurang pedenya itu menger­dilkan segalanya.
Ya, sebe­lum segalanya menjadi kerdil. (blogkatahatiku.blogspot.com)
Ilustrasi: Dok KATA HATIKU
Oleh Effendy Wongso

Serangkai bunga mawar. Candle light dinner. Kado per­men coklat ber­pi­ta me­rah jambu. Ungkapan cinta yang ter­dengar klise. Itulah suasana yang ba­kal me­me­nuhi at­mos­fer Valentine’s Day nanti. Seperti yang sudah-sudah. Se­mu­­a­­nya terasa menjenuhkan. Sebuah rutinitas tahunan yang seolah ti­dak me­­­mi­­liki makna lagi. Paling tidak, itulah yang dirasakan Tita kali ini. Men­je­lang Valentine, se­mua­nya te­rasa hambar. Tapi seperti hari-hari yang lalu, Valen­tine tak dapat dihindarinya.
But, this is Kikan’s Valentine!
Ia harus mengha­dirinya. Suka atau tidak suka.
“Tita, ada telepon….”
Sebuah panggilan yang asalnya dari lantai bawah. Di­alihkannya pandang­annya dari kartu undangan berwarna pink, yang baru diterimanya si­ang tadi di se­­­kolah dari Kikan Ris­­wana, sahabatnya.
 “Dari siapa, Ma?”
 “Maya.”
Tita mengempaskan tas sekolahnya di atas tempat ti­­dur. Juga kartu un­da­ng­an Valentine dari Kikan. Sepasang kruk­nya yang sudah anteng menyan­dar di samping meja be­la­jar diraihnya dengan gerak ge­gas. Kadang-kadang ia me­­ng­­­­um­pat kalau ada deringan telepon untuk­nya. Itu berarti ia ha­rus berpa­yah-pa­yah menuruni anak-anak tangga yang su­dah diku­tuk­nya sejak balita.
“Tita, cepetan dong. Kasihan Maya-nya. Sudah me­nung­gu lama.”
“Iya, iya. Tita juga lagi sedang turun kok, Ma.”
Dulu, anak-anak tangga selalu menjadi musuhnya. Ma­kanya, ia mengutuk anak-anak tangga yang selalu me­nyandung kaki serta kruknya sehingga suatu wak­­­­­­tu sering membuatnya terpelanting. Itu dulu. Dulu sekali. Sebelum ia me­­nya­­dari betapa pentingnya kemandirian yang dita­nam­kan orangtua kepadanya. Du­­­­­lu juga ia pernah berpikir, ka­mar­nya yang terletak di lantai atas sungguh ja­uh dari repre­sen­tatif.
Representatif yang ia maksud adalah, kamar untuk­nya ti­dak seharusnya berada di loteng. Bagaimana mungkin anak cacat seperti ia ti­dak diberi fasilitas yang comfortable. Pa­­ling tidak, kemudahan-kemudahan un­tuk­nya yang tidak me­miliki sepasang kaki normal layak­nya gadis-gadis lain. Ta­­pi Mama dan Papa sama sekali ti­dak membe­dakan­nya de­ngan Nina, ka­kak tunggal­nya yang terlahir dalam kea­da­­­an sem­­pur­na. Semuanya sama.
Tita yang cacat fisik karena po­lio pun bukan merupakan alasan untuk dilimpahi jatah ka­sih sa­­yang berle­bihan. Itu­lah se­ben­­tuk pembelajaran baginya. Peng­gemblengan yang ba­­ru ia ma­fhumi man­fa­at­nya saat me­­nginjak SMP.

***

“Haloooo, May!”
Satu teriakan senada lengkingan knalpot bajaj ke­lu­ar dari tenggorokan Tita begitu me­nyambar gagang telepon yang tergeletak di atas meja te­le­­pon.
“Hei, kupingku belum budek, tahu!”
Ada umpatan protes di ujung teriakan yang berde­si­bel tinggi itu. Maya mi­suh-misuh seperti orang yang sedang ter­jangkit jantung koroner.
“Sori.”
Ungkapan ringan tanpa nada bersalah, apalagi se­sal. Tentu saja ulahnya yang bisa bikin gendang telinga ro­bek itu bikin Maya memberengut. Selalu saja be­gitu. Sohib ken­­tal­nya itu memang over-proaktif. Sehingga kadang-ka­dang ia me­rasa sedang berteman dengan titisan prenjak. He­ran. Padahal….
“Sori sih sori. Tapi kupingku sudah keburu rusak, nih. Tidak stereo la­gi.”
“Wait a minute. Kamu bilang kupingmu kenapa?”
“Aku bilang, kupingku tidak stereo lagi!”
“Tunggu, tunggu. Aku mau ketawa, nih. Ha ha ha!”
“Eh, ketawa lagi!”
“Memangnya walkman apa tidak stereo lagi? Kena-pa tidak sekalian, off surround dan tidak THX lagi?”
Lewat horn telepon, terdengar suara kekeh dari se-be­­rang sana. Pasti anak bertubuh over-size itu sudah tidak ma­­nyun lagi akibat ulah Tita Raswana yang bisa bi­kin pasien ru­ang tunggu dokter THT bertambah. Gadis gembrot itu ki­­ni sudah terpingkal-ping­kal sampai suaranya dapat melang­lang ke rembulan.
“Tita….”
“Hm, ada apa sih, Cinta? Mengganggu saja. Belum lagi aku ganti sera­gam, eh kamunya sudah ngebel!”
“Sori. Aku Cuma mau tahu, kamu diundang Kikan ti­dak?”
“Ya diundanglah! Kikan tuh tidak mungkin melupa­­kan kita. Meski geng ki­­­­­ta sudah bubar sejak kita menginjak ke­las tiga, tapi kita bertiga kan tetap sau­daraan dan masih se­ring ngumpul. Hm, ada apa sih?”
“Oh, tidak apa-apa. Cuma….”
“Cuma apa?”
“Kamu mau menghadiri acara dia?”
“Ya iyalah! Acara itu kan acara Valentine.”
“Maksudku, di sana kan pasti banyak tamu lain.”
“Hei, May, di mana-mana yang namanya acara dan kon­dang­an itu pasti ba­nyak orang. Memangnya acara berta­pa apa?”
 Iya, sih. Tapi, aku harus bagaimana dong?!”
“Kamu ini bagaimana, sih. Ya, hadir dong. Memang­nya mau mendem di rumah kayak main petak um­pet apa?”
“Maksudku, aku mokal….”
“Ya ampun, May. Kapan sih penyakit krisis pedemu itu dapat sembuh?!”
“Ya, aku mokal saja.”
“Mokal sih mokal. Tapi jangan piara tuh mokal ka­yak ternak, dong!”
Terdengar derai tawa di samping gendang telinga Ti­ta. Maya terkikik de­ngan tipikal suara yang bisa bikin merin­ding orang yang mendengarnya di ma­lam Jumat Kliwon.
“Hah, memangnya aku ini sapi apa? Ternak, ternak.”
“Habis….”
“Oke, oke. Let’s to the point. Ta, aku tuh tidak suka yang namanya aca­ra hura-hura.”
Tita mendengus. “Hei, Valentine tuh bukan acara hu­ra-hura. Bukan club­bing. Kamu pikir kita mau dugem apa?”
“Aku tahu. Valentine tuh hari kasih sayang. Tapi se­ka­rang maknanya su­dah dipelintir, Ta.”
“Memangnya kumis dipelintir.”
“Shut up your mouth, Ta! Aku lagi serius, nih!”
“Iya, iya. Ada yang lagi serius, nih.”
“Ta, tahu tidak, aku sedari dulu juga tidak suka de­ng­an yang namanya party.”
“Maya, kamu tuh bukan tidak suka party. Tapi kamu su­dah kelewat over krisis pede. Ngetem di rumah. Meng­u­rung diri di kamar. Kenapa kamu tidak bisa gaul sedikit, sih?!”
“Tapi….”
“Sudah, May. Hadiri saja.”
“Tapi, aku tidak bisa.”
“Harus bisa! Memangnya acara Valentine Kikan dia­da­kan setiap bulan apa?!”
“Bukan begitu….”
“Acara Valentine yang diadakan sama Kikan terpaut dua hari sebelum ulangtahun dia. Kalau kamu tidak mau meng­hadiri acara Valentine-nya, ya ang­gap saja kamu meng­ha­diri pesta hari jadi dia itu. Makanya, Kikan menga­dakan se­ka­ligus hari ulangtahunnya dengan hari Valentine. Bagai­ma­na?”
“Aku tahu. Tapi….”
“Aku tahu kamu tidak suka pesta. Aku juga sebetul­nya tidak suka sama pes­­ta-pesta. Tapi, harus bagaimana la­gi? Kikan kan teman kita. Acara tersebut ru­tin diselengga­ra­kan­nya setiap tahun. Lagian, aku tahu kok acara Valentine yang diadakannya itu bukan bermaksud apa-apa. Hanya un­tuk menggalang per­sa­­­habatan agar lebih erat saja.”
“Iya, sih. Tapi apa….”
“Oh come on, May. Kenapa sih kamu jadi manja dan ce­ngeng kayak anak kecil be­gi­tu sampai harus dibujuk rayu su­paya mengikuti acara Valentine itu?”
“Maksudku….”
“Sori, May. Kali ini aku tidak mau mendengar alasan apapun. Kamu ikut, atau anggap saja persahabatan kita ini sudah putus!”
“Lho, kok begitu sih, Ta?!”
“Habis, aku harus bagaimana lagi untuk membujuk kamu supaya tidak ke­ras kepala memangkiri acara Kikan itu.”
“Tapi….”
“Kikan adalah saudara kita. Masa sih acara dia yang se­tahun sekali itu kamu mangkiri?”
“Bukan maksud aku….”
“Po­koknya aku tidak mau mendengar alasan lagi, May. Aku tahu kamu minderan karena bertubuh sejumbo gajah! Be­tul, kan?”
“Ka-kamu…!”
“Sori, May. Bukan maksud aku menghina kamu. Ta­pi, jangan seketer­la­lu­an begitu dong menghukum diri sendi­ri. Kamu tahu, aku ini pincang! Polio yang aku­ de­ri­ta sejak ba­lita telah menghancurkan kesempurnaan fisik seorang ga­dis. Ta­pi, aku tidak minder. Aku tidak malu. Kenapa? Karena aku sadar apa yang te­lah me­­­­nimpa kita, seburuk dan se­pa­hit apapun, semuanya telah menjadi sura­tan tak­­dir. Ini co­ba­an buat kita. Untuk apa disesali?! Lagipula, kita ini hidup di da­­­lam keanekaragaman dunia. Kamu tidak mungkin dapat menghindar dan me­ng­u­cil­kan diri terus-menerus. Kita harus ber­sosialisasi. Sebab itulah konse­kuen­si kita yang terlahir se­bagai manusia.”
“Ta-tapi….”
Terdengar suara isak tangis di seberang sana. Maya se­senggukan. Suara­nya terdengar sember. Tita membuang napas. Seperti menyesali kalimatnya yang sarkastis.
“Sori, May. Aku tidak bermaksud menggurui ka­mu….”
“Ti-tidak, Ta. Kamu benar. Selama ini aku terlalu ker­dil mengartikan ke­ber­adaan dan jatidiri aku sendiri. Selama ini aku terlalu memandang rendah di­ri­ aku sendiri. Aku tidak pe­de. Aku terlalu takut menghadapi cemoohan orang-orang yang aku anggap lebih sempurna dari aku. Aku yang salah, aku yang sa­lah, Ta!”
Tita menghela napas lega. “Ya sudahlah, May. Mulai de­tik ini kamu harus pede, dong. Semua manusia sama di ma­ta Tuhan. Lagian, semua manusia ti­dak ada yang sem­pur­na, kok. Masing-masing memiliki kelemahan dan kelebih­an. Ka­lau kamu menganggap diri kamu jelek, jelek secara fi­sik, tapi kamu mungkin me­miliki kecantikan batin yang ber­nama inner beauty. Benar tidak?”
Sunyi. Maya di seberang sana seperti terdiam menyi­mak. Tercenung un­tuk beberapa saat lamanya ketika Tita ma­sih melanjutkan cerocosan moral­nya. Meski masih meni­tik­kan airmata, ia akhirnya mafhum apa yang dikatakan Ti­ta. Bahwa semua manusia sama di mata Tuhan.
“Hei, May! Kamu masih dengar aku, kan?!”
“I-iya. Aku masih dengar, kok.”
“Nah, kalau begitu, aku jemput kamu besok petang ke Kikan’s Valen­tine. Jam enam. Ingat, jangan molor.”
“Oke. Thanks, Ta.”
“Bye.”
“Bye juga.”
“Eh, tunggu, May! Jangan tutup dulu!”
“Apa?”
“Pakai baju pink, ya?” (blogkatahatiku.blogspot.com)
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home