BLOGKATAHATIKU/EFFENDY W
BLOGKATAHATIKU - Bagi Pretty Tumakaka, menyanyi bukan hanya sekadar hobi tetapi lebih kepada cara ia merefreshingkan diri. Di sela kesibukannya yang luar biasa sebagai marketing communication manager di Hotel Grand Clarion, Makassar, ia memilih “tarik suara” sebagai aktivitasnya mengusir penat. Menyanyi di rumah bernyanyi atau karaoke senantiasa dilakukannya bersama teman-temannya, khususnya di waktu senggangnya, Sabtu-Minggu.
Di temui di sela kesibukannya yang luar biasa di Hotel Grand Clarion, Jalan AP Pettarani, Makassar, beberapa waktu lalu, Pretty, demikian wanita cantik ini disapa, menceritakan perihal hobi menyanyinya, sekaligus sedikit mengulas ihwal keterlibatannya di dunia hotel.
“Menyanyi merupakan cara saya untuk refreshing. Biasanya, Sabtu dan Minggu, waktu yang benar-benar kosong dari rutinitas pekerjaan saya. Biasanya bersama teman-teman,” ujar kelahiran Palu, 8 Oktober 1985 ini.
Terkait hobi menyanyinya tersebut, Pretty mengungkap  aktivitas bernyanyinya tak melulu dilakukan di rumah bernyanyi, tetapi kadang-kadang ia juga menyanyi dalam paduan suara di gerejanya.
Setali tiga uang, Pretty mengakui jika kegiatan menyanyinya tersebut tidak terlalu sulit dilakukannya, sebab di tempatnya bekerja fasilitas seperti ruang bernyanyi juga ada sehingga antara waktu kerja dan hiburan sama-sama dapat dinikmatinya langsung.
“Ya, pekerjaan saya kebetulan di dunia yang tidak jauh dari entertainment, sehingga jika penat, saya tidak usah jauh-jauh mencari hiburan. Di sini semuanya ada, mau ke rumah bernyanyi, mau ke salon, semuanya ada di Hotel Grand Clarion ini,” terang bungsu dari dua bersaudara ini.
Menyoal pekerjaan yang dilakoninya di dunia perhotelan sejak 2008 lalu tersebut, Pretty mengakui banyak mengambil hikmah dari dunia ini, di mana saat merintis kariernya ia pernah menjadi operator hotel.
“Saya merintis karier dari bawah meskipun bergelar sarjana. Saya starting sebagai operator hotel di sebuah hotel berjaringan di Palu. Meskipun ini basic, tapi pekerjaan yang saya lakukan secara tidak langsung membuat saya banyak belajar berkomunikasi dengan orang,” ungkap putri dari pasangan EJ Tumakaka dan Ratih Matoyo ini.
Mengucap syukurlah dalam segala hal, bagi Pretty yang pernah bekerja di bidang perbankan ini, adalah sebuah kalimat motivasi yang masih diimplementasikannya sampai saat ini, baik saat ia baru menjalani kariernya sebagai operator hotel di Palu, sampai saat ia dipercayakan sebagai marketing communication manager di Hotel Grand Clarion Makassar seperti sekarang.
“Dalam hal pekerjaan, apapun itu, sekecil apapun, dari operator hotel sekalipun, kalau kita mengucap syukur, kalau kita menerima dengan rasa syukur, sesuatu itu akan indah pada waktunya,” beber penyuka kuliner Manado ini.
Selama bertugas di Hotel Grand Clarion, yang dijalaninya di awal 2011 lalu, alumnus SMA Negeri 7 Manado dan Institute Business Administration (IBA) Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado ini, mengatakan “enjoy” melaksanakan tugas-tugasnya tersebut.
“Selama bekerja di dunia perhotelan, saya belum pernah mengalami kendala berarti. Ya, kan masing-masing hotel punya tantangan sendiri, punya cara main sendiri-sendiri, perbedaan itu jadi pelajaran buat saya,” aku sosok mandiri yang memiliki cita-cita ingin memiliki hotel sendiri di Palu.
Ditambahkan, selama ini ia sangat menikmati bekerja di Hotel Grand Clarion. Selain dapat menambah wawasan mengenai dunia perhotelan, ia juga bisa bertemu banyak orang, dan menjalin relasi dengan tamu dari kalangan menengah ke atas.
“Suatu saat, saya ingin memiliki hotel sendiri. Untuk itulah saya banyak belajar mengenai manajemen hotel. Ya, belajar sekian tahu tentang perhotelan, harapannya seperti itu,” tandasnya.

Foto: Pribadi
"Si Cantik yang Hobi Cuap-cuap"

Show salah satu bintang cilik Indonesia yang diadakan di Medan beberapa tahun silam adalah pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan oleh salah satu penyanyi sepuluh besar Indonesian Idol 2008 ini. Soalnya, dari situlah wanita yang memiliki nama lengkap Reni Mait ini merintis dan memulai kariernya di bidang entertainment sebagai Master of Ceremony (MC).
“Waktu itu, Joshua sedang berada di puncak kejayaannya sebagai bintang penyanyi cilik Indonesia. Kalau tidak salah ketika mengadakan show ke Medan, ia masih SD. Saya pun waktu itu juga masih kecil. Kebetulan pada waktu itu ada yang menawarkan untuk menjadi MC show Joshua, ya sudah saya pun mencobanya,” ungkap Reni saat ditemui di sela-sela menjadi MC pagelaran sebuah event.
Sejak saat itulah, kemampuannya untuk membawakan sebuah acara semakin terasah. Terlebih, jika yang dibawakannya adalah acara yang berhubungan dengan anak muda, seperti acara musik. Kata-kata manis Reni yang ditujukan kepada penonton untuk terus mengikuti jalannya suatu acara mengalir dengan indah, sehingga para penonton pun tidak bosan mengikutinya.
“Buat saya MC itu adalah dunia yang menarik dan menyenangkan. Di mana kita bisa melakukan sesuatu seperti bicara di depan orang banyak, yang mana hal-hal seperti ini tidak semua orang bisa melakukannya. Satu yang harus di perhatikan seorang MC, yakni jangan sampai kita kehabisan kata-kata,” tutur penyiar Radio Prambors Medan ini.
Lebih jauh Reni menambahkan, agar tidak kehabisan kata-kata saat berada di atas panggung, dirinya memiliki dua modal sehingga acara yang dibawakannya tetap menarik. Kedua modal tersebut adalah memperluas pergaulan dan harus selalu memiliki pengetahuan yang luas.”Kata-kata itu adalah seninya menjadi seorang MC, jadi supaya tidak kehabisan kata-kata, saya selalu mencoba untuk terus menggali pengetahuan dan memperluas pergaulan,” terangnya.
Di dunia entertainment, khususnya MC, Reni termasuk MC papan atas Kota Medan. Event musik adalah salah satu yang sering dibawakan wanita cantik kelahiran 11 Maret 1986 ini. Selain itu, ketika masih duduk di kelas satu SMA ia juga pernah menjadi juara presenter Trans TV. Kemudian beberapa acara TVRI dan Deli TV juga pernah di bawakannya.
Dukungan dan motivasi dari keluarga yang besar, membuat alumni Fakultas Hukum USU angkatan 2004 ini tertantang dan termotivasi untuk terus berkecimpung di dunia entertainment. Jadwal kesehariannya yang lumayan padat, tak lantas membuat dirinya lupa pada keluarga dan pendidikan.
“Syukurlah dukungan dari keluarga sangat besar. Hal ini bagi saya sangat berpengaruh positif, karena dengan adanya dukungan tersebut saya semakin termotivasi untuk terus mengembangkan karier saya di dunia entertainment. Ya, pastilah, sebab keluarga adalah yang paling utama. Agar keluarga dengan karier saya ini tidak terganggu, sebelumnya saya harus pandai me-"menej" waktu,” papar putri pasangan Ari Mait dan Sri Mujiati. (blogkatahatiku.blogspot.com)
Oleh Effendy Wongso

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
tiga kali empat meter, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Chairil Anwar
Sebuah Kamar (1946)

Foto: Effendy Wongso
Sinar itu selalu mengusiknya. Sebelum segalanya sempurna dalam de­kap­an tidurnya yang damai. Tujuh tahun, entah. Mungkin lebih. Delapan ba­rang­kali. Ia tidak menghitung persisnya. Sinar itu mengiring langkahnya ber­an­jak de­­wasa. Kadang-kadang membuainya dengan hangat seperti seli­mut. Tapi juga mengu­sik­nya. Seperti pagi ini.
Ia menguap setelah mengucek-ucek mata. Dipannya masih terasa ha­ngat. Dan ada ketidakrelaan ketika sepasang kaki telanjangnya itu menyen­tuh lantai ta­nah yang dingin. Disibaknya sarung usang yang biasa dipakainya sebagai seli­mut. Ada cabikan kecil pada tepinya. Tidak terlalu jelek. Sarung itu konon di­bu­at di pedalaman Sulawesi Selatan. Dirajut secara tradisional dari kepom­pong ulat sutra. Lebih dikenal dengan nama sarung sutra Bugis.
Kisah tentang sarungnya itu sebenarnya tidak terlalu bagus. Ayahnya yang memberikannya tiga tahun lalu. Sehari sebelum Idul Fitri. Sarung itu me­ru­­pakan benda terbaik dan paling berharga yang pernah ia miliki. Tidak di­sang­ka merupakan pemberian terakhir dari lelaki yang sehari-hari menjadi tu­kang tambal ban itu. Mengingat semua itu ia seolah dihadap­kan pada layar ke­nangan de­­ngan skenario lara. Bukan hal yang menyenangkan memang. Tapi ki­sah itu ke­­rap hadir dalam kesendiriannya. Ketika Ibu berangkat kerja sebagai binatu ke­­liling. Ketika Lanang, kakak laki-lakinya pergi mengamen, atau sekali-kali men­­­jadi pengemis dengan menyewa bayi tetangga dengan upah satu nasi bung­kus.
Di luar sudah terdengar gaduh rutinitas. Ada derit roda pada katrol tim­ba pa­rigi. Ada bunyi desau air dari kamar mandi berdinding lepa. Ada de­bum kasur yang ditepuk-tepuk karena baru saja malam tadi diompoli oleh sang orok. Juga bu­­­nyi berirama kayuhan patah-patah becak gerobak peda­gang sayur. Setiap me­­lewati jalan becek di depan rumahnya, lelaki tua ber­ma­­ta cekung itu selalu ke­repotan. Ia harus turun dari sadel. Mendorong be­cak gerobaknya, sesekali menghindari tanah yang berlubang-lubang dan ber­lum­pur. Lalu setelah berhasil melewati jalan yang selalu menyusahkan­nya itu, ia akan mengumpat-umpat de­ngan kalimat yang tidak jelas. Tidak ada yang pernah mengerti. Termasuk pe­rem­puan gemuk penjual jamu gen­dong yang selalu ber­pa­pasan dengannya.
Atau, seorang perempuan muda dengan pakaian norak berwarna ma­nya­la separo terbuka yang baru pulang dengan mata sembap. Perempuan itu biasa di­panggil Tin si Kupu-kupu Malam. Tin adalah kependekan dari Tin­ne­ke. Sebe­tul­­nya bukan itu nama sebenarnya. Menurut orang-orang kampung di dekat Kali­jodo, perempuan itu aslinya ber­nama Tinah Suhartin. Dari Ja­wa. Namun sete­lah beradaptasi dengan kehidupan perkotaan, seperti bung­lon ia pun mengganti na­ma­nya. Juga penampilan­nya.
Dari jalan masuk sinar matahari itu pula ia dapat mengintip semua ke­­ja­dian pagi yang menjadi ritual harian orang-orang pinggiran. Lubang so­bekan pa­da dinding kardus rumah itu sebesar bola tenis. Samar masih ter­tang­kap buram gam­bar dan tipografi iklan sebuah rokok di sampingnya. Ada tam­balan poster di sana-sini. Wajah lama Michael Jackson yang masih ber­ku­lit hitam tampak me­ng­u­ning. Sementara gambar klasik pasangan bintang Nike Ar­dil­­la dan Hengky Tor­nan­do berlubang-lubang belel dan bolong tersundut api rokok.
Lubang itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Kalau ma­lam, ia dapat mengintip bintang-bintang di langit. Untuk rutinitas malam orang-orang kam­pung, ia tidak dapat lagi melihat apa-apa lagi selain keke­lam­an. Ti­dak ada apa-apa selain suara kodok atau sesekali gonggongan an­jing buluk mi­lik se­orang pemulung kayu peti asal Madura di kelokan gang sa­na.
Dari kejauhan terdengar pula ritme gerit roda besi pada sambungan-sam­bungan rel. Kereta api jurusan Jakarta-Depok seperti tidak ada habis-ha­bisnya. Se­tiap lima belas atau dua puluh menit sekali bunyi itu mengirama pa­da gen­dang telinganya. Suara itu juga kadang-kadang diimbuhi dengan bu­nyi serak da­ri sebuah radio tua milik tetangganya yang berjarak dua meter dari rumahnya. Pukul enam pagi tepat, siaran luar negeri BBC London pasti terdengar dari ge­lom­bang pendek radio transistornya. Tetangganya itu seo­rang purnawirawan ten­­ta­ra pada zaman Orde Lama. Semua bunyi terse­but mengirama seiring de­ngan usianya yang jalan tiga belas. Dan menjadi litani pada kehidupan­nya yang tawar.
Ia sudah terbiasa dengan ritme kehidupan yang sekian belas tahun di­ak­­rabinya. 

***

Siang tadi ia mendadak kedatangan tamu penting dari sebuah SMA yang berlokasi di Depok. Seorang siswi. Cantik. Kelihatan­nya anak orang kaya di ko­ta. Sebetulnya, bukan sengaja. Secara acak siswi itu menda­tangi ru­mah-rumah yang dianggap paling kumuh. Tidak layak untuk ditinggali. Termasuk di rumah­nya.
“Kamu sendiri?” ia bertanya, membuka pembicaraan setelah gadis tiga be­­las itu hanya menundukkan kepala dengan rupa gelisah. Ia duduk di amben belakang, menghadap keluar berseberangan dengan sebuah kanal de­ngan air­nya yang keruh.
“Orangtua kamu?”
“Bapak sudah meninggal, tiga tahun lalu. Ibu lagi kerja, nyuci baju di ru­mah ibu-ibu di kampung sebelah. Saya ditinggal sampai sore. Tidak boleh ikut. Mes­ti jaga rumah.”
Siswi itu mengerutkan keningnya. Melongokkan kepala ke arah da­lam rumah kardus yang disinggahinya. Diedarkannya matanya ke sekeli­ling ru­ang­an yang tidak lebih besar ketimbang toilet utama rumahnya di ‘Pondok In­dah’. Ini tidak layak disebut rumah. Di mana-mana beterbangan lalat dari tum­pukan sam­­pah tidak jauh dari tempat ia sekarang berada. Ia sama sekali tidak menye­but kata ‘rumah’ untuk tempat ini. Karena menurutnya, rumah yang ideal adalah ‘home’. Dalam rumah kategori itu ada keharmonisan dan ke­damaian su­a­sana. Tidak seperti di tempat ini. Sangat jorok dan tidak se­hat!
“Kamu tidak sekolah?”
“Tidak. Tapi, diajari baca sama Bang Lanang.”
“Siapa dia?”
“Kakak. Bang Lanang pernah sekolah. Tapi cuma sampai kelas lima SD sa­ja. Tidak sampai tamat.”
“Kenapa?”
Gadis itu kembali menundukkan kepala. Binar di matanya meredup. Ia nam­pak gelagapan.
“Bapak keburu meninggal, Kak.”
Siswi itu terhenyak sesaat. Tapi diuraikannya sebuah senyum pak­­sa, meng­­gebah rasa iba yang menyeruak mendadak. Ia sangat prihatin de­­ngan kon­di­si yang dilihatnya.
“Kamu boleh panggil nama saya. Wulan. Kalau kamu?”
“Lintang, Kak.”
“Hm, Lintang pernah kepikiran untuk sekolah tidak?”
“Ingin sekali. Tapi, biaya sekolah mahal….”
Wulan menghela napas. Kalimat lugu yang disampaikan Lintang ba­rusan memang merupakan refleksitas kehidupan yang sebenar-benarnya. Bah­wa be­tapa banyak kepincangan yang membumi di Nusantara ini.
“Lintang pernah menabung untuk dapat sekolah. Tapi….”
“Tapi kenapa?”
Gadis berambut kusam itu menggigit pelepah bibirnya. “Tapi Ibu ma­rah. Ibu bilang, Lintang jangan berkhayal dapat sekolah. Karena untuk ma­kan seha­ri-hari saja susahnya minta ampun.”
“Ibumu bilang begitu?”
“Ya.”
“Lintang kecewa?”
Gadis kecil itu menggeleng. “Tidak, Kak. Lintang sadar, setelah Bapak me­ninggal, untuk makan nasi bungkus saja kadang-kadang Ibu mesti menge­mis di Mpok Minah, pemilik warung nasi di sebelah rumah.”
“Jadi, selama ini apa Lintang tidak punya cita-cita?”
Gadis itu tersenyum samar. “Cita-cita Lintang hanya satu, Kak. Pingin ja­di orang kaya!”
Wulan meneguk ludahnya yang terasa memahit. Ini tugas paling berat un­­tuk bahan makalah Lingkungan Hidup yang dipilihnya. Seha­rus­nya ia tidak boleh terbawa perasaan begitu. Sebab hal itu dapat menggang­gu konsen­tra­si­nya. Bahan tulisannya bakal tidak obyektif lagi.
“Kak Wulan anak gedongan, ya?”
Wulan membeliak. Terkejut dengan pertanyaan dadakan dari Lintang. Ia kemekmek. Entah harus menjawab apa.
“Tidak juga. Tapi, keluarga Kak Lintang tidak susah-susah banget se­per­­ti….”
“Aduh, enak ya jadi orang kaya?”
“Ti-tidak selamanya….”
“Siapa bilang tidak enak? Buktinya Bapak meninggal karena ingin men­­ja­di orang kaya….”
“Se-sebenarnya, bagaimana kematian Bapak kamu itu….”
“Persisnya, Lintang tidak tahu, Kak! Tapi, seminggu sebelum Bapak me­­­ning­gal, Lintang pernah dengar Ibu bertengkar dengan Bapak. Kalau tidak sa­­lah dengar, Ibu bilang tidak setuju kalau Bapak ikut Kelompok Kapak Me­rah!”
Wulan nyaris kelengar. Kelompok Kapak Merah?! Bukankah….
“Dari Ibu, Lintang tahu kalau Kelompok Kapak Merah itu merupakan per­­kum­­pulan orang-orang yang sering merampok dan memalak orang-orang kaya bermobil di jalanan.”
“Tapi, kenapa Bapak Lintang sampai terlibat?”
“Kata Ibu, Bapak terpengaruh. Waktu Lintang masih bayi, rumah gu­buk kami di Kedungumbo kena gusur secara paksa. Bapak marah, menyim­pan den­dam sampai se­ki­an tahun. Beserta beberapa sahabatnya, Bapak ber­gabung de­ngan Kelompok Kapak Merah. Bapak bilang sama Ibu sebelum me­ninggal, bahwa dia berjanji hanya akan merampok para pejabat korup saja, yang sudah diincar cermat jauh-jauh hari.”
“Tapi, pada kenyataannya Kelompok Kapak Merah itu semakin mere­sah­­kan masyarakat Jakarta, Lintang! Semuanya disikat. Tanpa pandang bulu. Bu­kan­­­nya hanya para pejabat korup saja.”
“Hal itu Lintang tidak mengerti, Kak. Tapi, kata Ibu, sampai di akhir hi­­dupnya pun Bapak tidak pernah mengingkari janjinya. Setiap melaksana­kan ak­si­nya, Ba­pak selalu berusaha menghindari melukai, terlebih-lebih membunuh kor­­­­bannya. Lagipula, uang hasil rampasan itu pun tidak pernah dipakai untuk ber­­foya-foya lazimnya perampok lain. Lintang pernah melihat sendiri Bapak mem­­bagi-bagikan jatah uang­­nya untuk tetangga-tetangga yang tidak dapat ma­kan hari itu, kok!”
“Ta-tapi….”
“Bapak seperti Robin Hood ya, Kak?”
“Tapi….”
“Lintang tahu dari Bang Lanang, katanya, menurut koran-koran, apa yang dilakukan Bapak itu salah besar menurut hukum. Tapi, kalau begitu, ke­na­pa tidak ada sanksi untuk para pejabat korup itu? Bukankah kejahatan mereka le­­bih besar ketimbang aksi Bapak yang dilakukan cuma demi sesuap nasi?”
“Ta-tapi….”
“Kadang-kadang Lintang tidak habis pikir, Kak. Dunia ini rasanya tidak adil. Bapak yang berjuang demi keluarga dan sesuap nasi, akhirnya mati me­nge­naskan, kena tembak polisi dalam sebuah aksinya. Sementara para ko­rup­tor itu melenggang bebas….”
Wulan terlongong mendengarkan ulasan gadis yang baru tumbuh re­ma­ja itu. Mulutnya seolah dibekap. Membungkam setiap perbendaharaan kalimat yang hendak terlontar. Ia mematung dengan beragam pikiran yang berkecamuk di benak. Tiba-tiba ia teringat kejahatan kerah putih yang ter­jadi di Tanah Air. Sebegitu parahkah penyakit lama bangsa be­sar ini?!
Ia menggigit bibir. Ini refleksitas!
Lalu gadis tiga SMA itu pamit undur. Ia berjanji akan da­tang esok. Bahan untuk makalahnya memang masih jauh dari cu­­kup. Di­ra­sa­kan­nya langkahnya mem­berat ketika melewati gugusan rumah kardus di per­kam­pungan kumuh ter­sebut.
Hatinya gamang. (blogkatahatiku.blogspot.com)


Warung Kopi Phoenam, “Since 1946”

Kopi selalu mendapat tempat di hati para penggemarnya. Bukan saja pada citarasa dan aromanya yang khas, akan tetapi keterikatan psikologis terhadap komunalitas, baik sekadar kongko maupun keterlibatan emosional individu terhadap suasana warung kopinya yang terbilang klasik.
Adalah Warung Kopi (Warkop) Phoenam, didirikan sejak 1946, warkop ini telah menjadi salah satu ikon kuliner di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Bagi masyarakat penikmat kopi kelas menengah ke atas, Warkop Phoenam pasti tidak asing lagi. Warkop yang dirintis dari sebuah jalan kecil, tak jauh dari Pelabuhan Makassar ini kini mulai merambah Nusantara lantaran memiliki konsumen fanatik.
Saat ini, Phoenam dijalankan oleh generasi kedua dari pendirinya yang bernama Liong Thay Hiong. Meskipun sudah generasi kedua, namun citarasa kopi di Phoenam tetap sama dan tidak berubah. Penerusnya kini juga masih konsisten terhadap cara meracik kopi dengan cara tradisional. Tentu saja ini dilakukan demi mempertahankan eksistensi aroma kopi yang khas klasik.
Dulu, ketika memulai bisnis warkopnya, Liong Thay Hiong didampingi dua orang kerabat dekat dan seorang pamannya yang berpendidikan tinggi bernama Prof Dr Tae Pen Liong. Dengan jiwa kewirausahaan, sang paman memberi nama warkop tersebut Phoe Nam.
“Phoenam berasal dari bahasa Mandarin yang artinya terminal atau tempat transit di selatan. Belakangan, untuk memudahkan pengucapannya dua kosa kata disatukan menjadi Phoenam,” jelas Albert, generasi kedua Warkop Phoenam, saat disambangi di warkopnya, Jalan Jampea, Makassar, beberapa waktu lalu.

Dipatenkan
“Nama Phoenam tersebut telah dipatenkan sejak 2006 lalu, sehingga di manapun, bila Anda menemukan warkop yang menggunakan nama ini, pasti berkaitan dengan Warkop Phoenam yang kini berpusat di Jalan Jampea, kawasan Pecinan di Makassar,” ungkap Albert.
Menurutnya, dari dulu hingga sekarang sajian kopi Warkop Phoenam tak pernah berubah. Mereka mempertahankan kekhasannya, citarasa, dan cara penyajiannya. “Terus terang, kami tidak mau latah mengikuti tren penyajian warkop atau kafe modern.”
Rahasia kekhasan kopi di Phoenam, aku Albert, terletak pada jenis kopi yang digunakan, yang merupakan campuran berbagai macam kopi dengan aroma yang berbeda. “Peracikan kopi di Phoenam masih menerapkan cara-cara tradisional.”
Kelebihan cara tradisional, beber Albert, lantaran rasa kopi versinya bisa diracik sesuai keinginan konsumen, sesuatu yang mustahil dilakukan jika menggunakan cara-cara modern yang patronis. Selain itu, rahasia kenikmatannya adalah jenis air seduhannya. “Kopi kami diseduh bukan dengan air panas saja, namun menggunakan air sari kopi, yang telah disiapkan pada subuh hari sebelumnya. Inilah yang menghasilkan kopi dengan cita rasa yang tinggi.”
Dengan segala kelebihannya Warkop Phoenam kini memiliki cabang di mana-mana, dan mulai merambah Nusantara. Di Makassar sendiri dapat ditemukan di empat titik, yaitu di Jalan Jampea, Bumi Tamalanrea Permai, Jalan Boulevard Raya, Panakkukang Square, dan Jalan Sam Ratulangi. Di luar Makassar, Phoenam dapat ditemukan di Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), Surabaya, Bandung, dan Jakarta.

Waralaba
Outlet Phoenam di Makassar, jelas Albert, dikelola dirinya sendiri beserta anak-anaknya. Sementara itu, untuk yang berada di luar Makassar dikelola dengan sistem manajemen terbuka, atau dalam bahasa bisnisnya adalah kerja sama ala waralaba.
Ia sebenarnya menolak penggunaan kata waralaba untuk bentuk kerja sama yang telah dilakukannya dengan pihak lain, akan tetapi sebagai unit usaha warkop yang mengedepankan “win-win solution” atau bisnis yang berorientasi saling menguntungkan, mau tidak mau manajemen pengelolaannya tetap mengikuti pola waralaba.
“Syarat untuk bermitra dengan Warkop Phoenam, antara lain harus memiliki lokasi yang strategis di kawasan perkantoran dengan ukuran minimal enam kali 20 meter, atau cukup menampung 18 meja dan kursi, serta mengikuti aturan standar properti yang ditetapkan kami selaku pemilik merek. Ya, dapur dan peralatannya harus diseragamkan dengan Warkop Phoenam lainnya,” terang Albert.
Peralatan yang dimaksudnya adalah tiga bahan utama, yakni kopi, teh dan sari kaya atau sejenis selai roti. “Semuanya harus dipasok dari Phoenam Makassar. Sebelum membuka usaha, mitra diberi pelatihan khusus untuk peracikan kopi agar sesuai dengan standar kopi Phoenam. Kontrak kerja sama berlaku selama tiga tahun dan dapat diperbarui kembali,” ujarnya.
   Albert merinci, Phoenam tidak menetapkan harga khusus untuk kemitraan tersebut, kecuali kewajiban penggunaan peralatan yang disiapkan oleh Phoenam. “Tidak ada pembayaran royalti, mitra hanya diwajibkan membeli bahan baku dari Phoenam.”
Lebih lanjut, ia menjelaskan resistansi Phoenam di tengah persaingan warkop yang kian kompetitif adalah pada disiplin waktu.
“Warkop kami konsisten beroperasi sejak pukul lima pagi. Selain menyuguhkan kopi dan teh, kami juga menyediakan roti bakar aneka rasa, telur setengah matang, hingga bubur untuk sarapan,” tandasnya. (blogkatahati.blogspot.com)


“Brand Generic Ifu Mi yang Fenomenal"

Jika ada kuliner yang menjadi ikon di Makassar dan sangat populer di Indonesia, itu tidak lain adalah Mie Titi. Padahal, sesungguhnya Mie Titi bukanlah nama makanan sejenis ifu mi (mi goreng Kanton), melainkan “brand generic” dari nama pendirinya yang kerap dipanggil "Titi"
Memang, rasanya ada yang kurang jika berkunjung ke kota berjuluk Anging Mammiri ini tanpa mampir mencicipi Mie Titi. Bukan karena Mie Titi sudah termasuk kuliner Nusantara yang fenomenal, akan tetapi ifu mi jenis ini memang sangat lezat.
Berbahan baku mi yang digoreng kering, lalu disiram dengan kuah kental dicampur kocokan telur berisi beragam sayuran hijau, gorengan, potongan daging ayam dan udang, Mie Titi memiliki ciri khas tersendiri dengan nuansa ‘kriuk-kriuk’-nya.
Disambangi KATA HATIKU, beberapa waktu lalu, Mie Titi Cabang “Irian”, Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo, ramai dipenuhi pengunjung. Pengunjung keluar masuk, dan tidak sedikit yang rela antre demi mencicipi aroma ifu mi yang telah melegenda ini. Dari pemantauan KATA HATIKU petang itu, selain pengunjung yang keluar-masuk, tak kalah sibuknya adalah para pelayan Mie Titie yang lalu-lalang mengantarkan pesanan pengunjung. Dalam sekali rengkuh, seorang pelayan biasanya mengantarkan enam hingga tujuh piring di lengan kiri dan kanannya.
Sementara pengunjung telah duduk di meja masing-masing dengan satu cerek berisi teh tawar, cabai rawit campur cuka, merica bubuk, kecap, dan sambal merah.

Usaha Temurun
Merunut ihwal Mie Titi, KATA HATIKU berjumpa dengan Fredy Kohen, pemilik Mie Titi. Pria yang senang berkepala plontos ini merupakan generasi ketiga yang meneruskan usaha ifu mi kakeknya yang bernama Kho Sek Cao alias Koh Cao atau Angko Cao.
“Kakek saya, Angko Cao, semula menjual ifu mi di 1960-an. Di masa itu, kakek saya menjual mi hanya menggunakan gerobak yang diletakkan di depan rumah. Lokasinya di daerah pecinan Makassar. Kala itu, kakek saya berjualan dibantu nenek saya, beserta ayah dan paman-paman, juga bibi saya.”
Fredy menerangkan, dalam perkembangan waktu, usaha ifu mi kakeknya tersebut berkembang dengan masing-masing versi dari anak-anaknya meskipun pada prinsipnya sama, mi goreng Kanton. “Ayah saya, Rusmin Kohen mengembangkan usaha ifu mi ini bernama Mie Titi, kemudian paman saya ada yang mengembangkan Mie Awa dan Mie Hengky, dan bibi saya mengembangkan Mie Anto.”
Cuma, menurutnya, ayahnya, Rusmin Kohen mencari ide membuat mi goreng yang lebih praktis ketimbang mi goreng yang sudah-sudah versi kakeknya yang seperti ‘ceplok telur dadar’. “Makanya, ayah saya menciptakan ifu mi versi Mie Titi ini, yakni mi yang lebih praktis karena sudah digoreng, dan tinggal dituangi dengan kuah kental berbahan sayur, daging, dan lain-lain.”
Pasalnya, terang ayah dua anak ini, ifu mi jenis ini memang sangat praktis dan efisien, sehingga pengunjung tidak perlu menunggu lama-lama mi goreng pesanan mereka. “Sejak itulah, ifu mi versi ayah saya yang bermerek Mie Titi ini mulai dikenal masyarakat. Anak-anak muda, bahkan menjadikan kuliner di warung makan Mie Titi ini sebagai ikon gaya hidup.”

Titi yang Melegenda
Fredy, anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Rusmin Kohen (Titi) dengan Yenny mengungkap, ayahnya yang lahir di Makassar, 15 Februari 1942 tersebut, kerap dipanggil Titi oleh sahabat-sahabatnya. Titi berarti “adik laki-laki” dalam bahasa Mandarin. “Jadi tidak heran, Rusmin Kohen akrab pula disapa Pak Titi atau Baba Titi.”
Ketika mulai mandiri, kenang Fredy, ayahnya membuka usaha mi goreng sendiri di 1975. Awalnya, masih kontrak di Jalan Bali. “Warung ifu mi kami saat itu belum punya nama, dan lokasinya pun sempat pindah hingga tiga kali,” jelas pria kelahiran Makassar, 5 Agustus 1972 ini.
“Nah, penyebab nama ‘Titi’ itu muncul sebagai nama warung makan kami, karena pelanggannya pada waktu itu, setiap mau makan warung makan kami, selalu menyebut ‘kita makan di Titi saja’. Dari ungkapan itu ternyata melambungkan nama ifu mi ini sampai sekarang,” paparnya.
Di 1980, lanjut Fredy, mulailah Mie Titi membuka cabang pertama di Jalan Irian yang sekarang berubah nama menjadi Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo. “Di sini, warung makan Mie Titi mulai dikenal hingga sekarang.”

Buka Cabang
Dua dasawarsa sukses mendulang laba dari jualan ifu mi yang menjadi “brand generic”, Mie Titi kemudian membuka cabang di beberapa lokasi di Makassar dan Parepare. “Di 2004, Mie Titi membuat gebrakan baru, membuka cabang di Bali, dan diberi nama Mie Galang. Cabang pertama di luar Sulsel disuguhi menu variatif seperti Mi Jakarta, Nasi Goreng, Mie Galang, Nasi Capcay dan menu andalannya, Mie Titi,” beber Fredy.
Sementara itu, runutnya, cabang keempat Mie Titi berdiri pada 2005 di Jalan Datu Musseng. Pada 2006 dan 2007, Mie Titi kembali membuka cabang di Perumahan Bumi Tamalanrea Permai dan Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Pada 2010, berdirilah cabang Mie Titi di Jalan Perintis Kemerdekaan.
“Masing-masing cabang punya manajemen sendiri, dan dikelola kami delapan bersaudara,” tutur Fredy yang sekaligus menjadi koordinator tiga cabang, Jalan Boulevard Raya di kawasan Panakkukang, Jalan Datu Musseng, dan di Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo.
Dijelaskan, kendati dikelola dengan manajemen berbeda, ia memastikan rasa dan kualitas Mie Titi tetap sama. “Untuk itulah, saya biasa mengunjungi cabang Mie Titi lainnya, ikut mencicipi. Kalau ada yang berbeda dari rasa aslinya, maka saya pasti akan memberi masukan,” tandasnya. (blogkatahatiku.blogspot.com)
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home