Oleh Effendy Wongso

Saya tidak tahu apa yang bersemayam di benak anak itu. Setelah aca­ra formal sekolah, seminar sehari de­ng­an tema: “Drugs? No Way!”, dia jadi ber­se­­­mangat mengenal­kan Hendra Budiman kepada saya. Saat itu dia merupa­kan sa­lah seorang anggota panitia, sementara Hendra Bu­di­man menjadi bin­tang tamu se­­kaligus salah satu narasumber da­lam seminar se­­­ko­­lah. Hah, dipikir­nya saya siapa la­yak diperkenalkan dengan se­leb belia de­­­­­ngan potensi karier yang secemer­­lang ge­mintang di langit itu?!
“Hendra….”
Saya mengibaskan tangan. Sama sekali tidak ber­mi­­nat mendengar ki­dung penokohannya yang penuh dengan po­lesan pujian. Pasti soal cowok mo­­­del itu la­­gi. Sepertinya ti­dak ada tema lain yang dapat diangkat sebagai ba­han per­ca­­kap­an.
“Dia masih single.”
“Mau double juga nggak ada hubungannya sama aku.”
“Jangan begitu….”
Saya melangkah, menggebah niatnya yang babur. Per­pustakaan pasti tem­­­pat yang paling bagus untuk mere­dam berisik dari paruh cucakrawanya.
“Hanya ada satu cinta dalam hidupnya!”
Kurang ajar! Sebuah muntahan kalimat meng­hen­ti­kan langkah saya. Se­per­ti lektur petualangan yang as­yik di­te­lusuri. Menarik saya untuk me­nyi­mak le­bih jauh.
“What?!
“HANYA ADA SATU CINTA DALAM HIDUPNYA!”
“Hanya ada satu cinta dalam hidupnya?!”   
“He-eh. Itu prinsip hidupnya yang disampaikan ke­ma­rin sama aku.”
“Heh, produk kontes wajah bagus begitu punya fils­a­fat syahdu ala Ro­meo dan Juliet?!”
“Memangnya kenapa?”
“Itu hil yang mustahal!”
“Kamu nggak yakin?”
“Nggak ada alibi naratif yang dapat menegaskan pen­dapat itu se­hing­ga bi­­sa masuk dalam takaran logikaku.”
“Tapi….”
“Jangan meniup angin surga deh, Odhie!”
“Hei….”
“Nggak bagus buat kesehatan jiwa.”
“Kamu….”
“Lagian, ngapain juga dia mau mengais-ngais sebu­ah nama untuk di­ja­­­­­di­kan gacoan sebagai makhluk pen­dam­ping ke party-partynya yang se­ab­rek itu di sekolah seperti ini?”
Sesaat Odhie alias Rodiah Mubarak itu terdiam. Me­mafhumi dalam ka­dar tipis atas apa yang barusan saya ucap­kan. Ini memang bukan sekolah umum. Bukan sekolah bia­sa di mana seabrek cewek bisa berlaku dinamis, meng­ge­rai rambut mayang seperti di iklan shampo. Di sini segalanya be­da. Ka­rena ini ada­lah Madrasah, sekolah Islam dengan se­jum­lah siswinya yang santri.
Namun dia tak bergeming sedikit pun dengan niat­nya yang semula. Terus saja mengusik saya untuk mencip­rat­kan sebersit peduli. Tidak peduli saya me­no­laknya bahkan berantipati sekalipun.
“Apa salahnya?!”
Hei, apa salahnya dia bilang?! Tentu saja tidak ada yang salah! Tapi ti­dak tepat! Itu yang pantas ditempatkan pa­da kehendaknya yang meng­ge­le­gak se­per­ti lahar kepun­dan di Gunung Krakatau.
“Hah, lucu kamu!”
“Memangnya….”
“Memangnya dia mau rela seperti mualim pakai pe­ci mendampingi ce­wek berjilbab seperti kita?!”
“Nggak….”
“Hei, jangan bilang kalau kita mau melepas….”
“Astafirullah, nih anak!”
“Memangnya kita….”
“STOP! Kok jadinya ngawur begitu sih, Ayi?”
“Hm, memangnya….”        
“Aku tuh bicarain kamu. KAMU! Not us! Bukan KITA! Ja­di, kamu ja­ngan bi­lang KITA-KITA lagi!”
“Tapi kita….”
“Tuh, kan?! Lagi-lagi KITA!”
“Kamu kenapa, sih?!”
“Bukan KITA. Tapi, KAMU!”
“Kok aku?”
“Siapa lagi? Memangnya dia naksir siapa?”
“Hah, jangan bilang kalau cowok model itu naksir sa­ma aku!”
“Hei, kamu pikir aku mau membuang-buang waktu­ku yang berharga ini untuk urusan orang lain apa?! Sori! Ti­me is money. Kalau bukan karena kamu, ma­na mau aku men­jelma menjadi nenek-nenek cerewet alias Mak Comb­lang un­­tuk menjodohkan kalian!”
“Hah?!”
“Jadi, jangan menyusahkan aku! Terima dia, atau ka­­mu dianggap ce­wek pa­ling gob­lok sedunia oleh seluruh peng­huni Planet Bumi ini karena nggak mau me­nerima cinta co­wok kiyut itu!”
“HAH!”

***

“Nggak, nggak. Aku nggak mau diledekin cewek yang nggak pernah NGACAAAA!”       
“Please, jangan menyulitkan aku!”
“Nggak! Tembak aja orang lain. Kenapa mesti aku?!”
“Kamu nggak jelek, kok. Kamu tuh manis. Kecanti­kan kamu unik. Hm, mirip sama Nia Ramadhani,  artis film te-o-pe be-ge-te itu.”
“Yap. Aku memang cewek yang paling cantik sebon­bin!”
“Jangan minder begitu dong, Ayi!”
“Pokoknya, NGGGAAAAKK!”
“Please….”
“Anak itu salah nembak! Matanya rabun. Perlu diba­wa ke dokter spe­si­alis mata!”
“Kamu jangan gokil begitu, dong!”
“Nggggakkk…!”
“Ayi, listen to me!”
“Nggg….”
“AYIIII!”
Rodiah kemekmek. Mengekori saya seperti pitik. Sa­ya melangkah da­lam ge­rak gegas. Nyaris tiba di rak peni­tip­an barang ketika satu cekalan ta­­ngan­nya pada bahu meng­hentikan saya di bawah bingkai pintu per­pus­ta­ka­an.
“Dia suka kamu!”
“Jangan cepat berasumsi kalau rasa suka itu meru­pa­kan cinta, Odhie!”
“Siapa bilang bukan rasa cinta kalau kelakuannya se­perti cacing kepa­nasan begitu?!”
“Sekalipun kelakuannya seperti ular kepanasan, itu juga belum tentu ber­­arti cinta.”
“Tapi….”
Saya meneruskan langkah setelah menyimpan tas di rak penitipan ba­rang. Rodiah masih membuntuti saya per­sis robot mini bertenaga baterai yang ber­jalan dengan sensor remote-control.
“Tapi….”
Saya mengambil lektur pop. Sampul tabrak warna bu­ku tentang Jer­man menarik perhatian. Saya duduk di me­ja baca tidak jauh dari rak ter­de­kat di sisi kiri saya. Membuka buku dengan konsentrasi ambyar. Cewek ber­ta­hi lalat ala Mandy Moree itu melatah seperti bayangan!
“Hendra….”
“Sudahlah. Just friend aja sudah merupakan anu­ge­rah. Aku nggak mau mimpi muluk-muluk.”
“Ini kenyataan, bukan mimpi! Dia yang langsung menyampaikan hal itu kepadaku, kok.”
“Hanya bertemu satu kali di dalam seminar?! Heh, jangan bilang ka­lau hal itu akibat virus cinta lokasi!”
“Bukan virus cinta lokasi. Tapi, virus naksir!”
“Hihihi….”
“Jangan ketawa, Ayi! Aku serius, nih!”
“So….”
“Dia bilang, selama ini nggak pernah pacaran kare­na belum me­ne­mu­kan cewek ideal.”
“Heh, ironis banget. Ngapain juga susah-susah begi­tu, sih? Padahal, de­ngan status dia sebagai seleb kondang, pasti banyak fans cewek yang bisa dia co­mot sesuka hati.”
“Ayi! Memangnya roti apa bisa sembarang comot?! Yang benar aja ka­mu!”
“Hihihi….”
“Sebenarnya, cewek alim merupakan salah satu ka­te­gorinya. Dia juga bi­lang kalau selama ini ragu dengan ce­wek-cewek jutek yang banyak berke­liaran di luar sana….”
“Heh, memangnya ayam apa berkeliaran?”
“Shut up your mouth! Aku nggak sedang bercanda!”
“Sori.”
“Hm, dia juga bilang simpati sama kita, cewek-ce­wek Madrasah yang ma­­sih bertahan dengan tradisi Timur. Nggak gampangan, katanya!”
“Oya?! Dia bilang begitu?!”
“Sumpah! Aku juga kaget waktu dia bilang begitu. Ta­pi aku lebih ka­get waktu dia bilang naksir sama kamu!”
“Kenapa?”
“Karena aku… CEMBUUUURUUUU!”
Saya menghela napas kuat-kuat. Jantung saya rasa­nya berhenti ber­de­­­­tak. Buliran kata yang merangkai menjadi ka­limat yang dituturkan Rodiah baru­san seperti selantun la­gu indah mendayu-dayu.
Tiba-tiba saya merasa menjadi cewek yang paling be­r­untung di du­nia! (blogkatahati.blogspot.com)
BLOGKATHATIKU/IST
Dimensi Lain Sang Waktu
Oleh Effendy Wongso

Tidak ada mesin waktu yang dapat membawanya ke alam lain, ke suatu tempat asing yang sangat jauh sehingga ia dapat terbebas dari neraka ini. Tidak ada lorong waktu yang dapat mengirim tubuhnya ke dimensi lain, menyeretnya ke serangkaian kisah dari masa lampau maupun mutakhir sehingga ia dapat terbebas dari rutinitas kemoterapi yang menyakitkan ini.
“Nadya Hans Sasongko!”
Lamunannya tergebah ke langit-langit rumah sakit. Mesin waktu fiktif bentukan imajinasi dalam benaknya melebur oleh satu panggilan nama. Ia menggigit bibir.
Tidak ada hamparan padang rumput yang menghijau indah. Tidak ada kembang beraneka warna dengan semerbaknya yang wangi. Tidak ada pelangi yang dititi oleh tujuh bidadari yang hendak mandi di bumi. Tidak ada hujan meteor yang indah bak kembang api. Dan tidak ada seribu kisah indah penawar lara!
Ia masih duduk tepekur di salah satu bangku panjang ruangan dengan bau formalin yang menyengat. Lalu-lalang para perawat berseragam putih-putih bagaikan birama yang mengalun dalam hidupnya. Dua tahun diakrabinya semua itu dalam gundah batin yang menyiksa. Sangat menyiksa!
Belum gilirannya. Dan ia mengembuskan napas resah setiap kali mendengar nama lain dipanggil masuk ke dalam ruangan sempit yang di benaknya seperti krematorium, dimana kepalanya akan dibakar dengan sinar-sinar laser panas sampai menjadi debu. Ditunggunya perawat jaga memanggil namanya. Tatiana Primeswara!
Saat ini ia hanya dapat terpaku. Detak-detak detik yang mengirama di sepasang gendang telinganya bagaikan litani yang akan mengantarnya sampai ke sebuah gerbang. Dimensi lain dari Sang Waktu.
Ia menghela napas panjang.
Ketidakrelaan tercetus di dalam tangisnya yang sudah tak berairmata. Setiap hari. Setiap waktu. Sampai datang seorang bocah perempuan, menyadarkannya bahwa dimensi lain Sang Waktu bukan hal yang perlu ia takuti lagi. Dunia itu penuh warna. Dunia lain dari dimensi lain Sang Waktu yang selayaknya disambut senyum bak semerbak wangi bunga. Bukannya tangis dan airmata yang senantiasa mengundang bau kematian!
Waktu itu, ada rengekan manja di sampingnya. Dilihatnya seorang ibu tengah bermain dengan putrinya yang baru jalan enam.
“Ma, Om Dokternya nyuntik lagi, ya?”
“Iya, Sayang.”
“Nggak mau, Ma!”
“Harus mau. Biar Hani cepat sembuh.”
“Tapi….”
“Kalau sembuh, Hani bisa main di Dufan lagi.”
“Betul ya, Ma?”
“Betul, Sayang. Sejak kapan sih Mama pernah bo’ongin Hani?”
“Trus kalau habis disuntik, apa rambut Hani bisa tumbuh lagi?”
“Tentu, Sayang. Rambut Hani bisa tumbuh panjang seperti punya Barbie.”
“Hooree… berarti Hani nggak usah makai topi ini lagi! Berarti Hani bisa sisiran seperti Barbie!”
Bocah perempuan itu membuka topi kupluk bergambar Miki Tikus dari kepalanya yang plontos. Dipeluknya wanita muda itu, menggelayut manja di kakinya yang lampai.
Ia menggigit bibir. Setiap Senin adalah neraka baginya. Papa tengah anginkan diri di luar ruangan rumah sakit. Seperti kebiasaannya dari waktu ke waktu. Sudah dua tahun ia menjalani proses yang seperti ritual mingguan ini. Sudah dua tahun lelaki itu menyertai dan mengawalnya ke tempat serba putih ini. Sudah dua tahun ia menjalani terapi kemoterapi atas repertum kanker otak dari dokter yang kala itu dianggapnya kiamat. Sampai pada suatu ketika ia merasa tidak kuat lagi menanggung derita yang menderanya seperti tanpa henti.
Bocah itu tersenyum kepadanya. Naturalisasi yang entah datangnya dari mana. Ia muncul tiba-tiba dalam kepolosan setiap anak. Dibalasnya senyum anak itu dengan tingkah bocah. Mimik senyum yang sebenarnya dipaksakan sebagai balasan. Ia merasa berdosa. Ketulusan dari bocah perempuan itu telah ditunaikannya dengan sandiwara!
Ini ruang tunggu kamar 5B. Di mana semua pasien tampak lunglai seperti bunga yang layu. Embusan napas yang terdengar konstan dan satu-satu, seolah berlomba dengan detak detik dari arah atas tengah bingkai pintu. Jam dinding menggentarkan hati pasien. Mendegupkan jantung mereka. Sampai kapan buliran-buliran waktu itu akan berhenti?!
Tidak ada yang tahu!
Tatiana menghela napas panjang. Alam seperti telah menghukum mereka, generasi dari para pendosa yang terbuang dari Taman Eden setelah memakan Buah Terlarang atas hasutan seekor ular batil!
“Kakak….”
Ia menoleh ke arah asal suara itu. Bocah yang menyemuminya tadi kini melangkah setindak ke sampingnya. Sebuah bangku satu setengah meter tidak terlalu jauh untuk mengajak sepasang kaki kecil itu melangkah.
“Halo,” sambutnya, mendelik-delikkan matanya seperti boneka mainan.
“Kakak, siapa ya nama tokoh kartun di dalam gambar baju Kakak ini?”
Ibu dari bocah perempuan itu tersenyum, mengangguk padanya. Mengawasi anaknya dengan mawas. Tatiana membalasnya juga dengan satu anggukan pada kepala.
“Oh. Namanya, Winnie The Pooh.”
“Winnie The Pooh?”
“He-eh. Tokoh beruang yang lucu. Eh, nama kamu siapa?”
“Hani.”
“Udah sekolah Hani?”
“Udah. Nol Besar.”
“Wah, pinter.”
“Iya. Tapi, Hani nggak suka sama temen-temen cowok!”
“Kenapa?”
“Nakal-nakal. Usil. Suka gangguin Hani.”
“Nakal bagaimana?”
“Masa mereka suka ledekin Hani Botak, Kak! Hani kan malu! Hani sedih! Padahal, Hani kepingin banget punya rambut panjang seperti Barbie!”
Tatiana terkesiap. Apakah semua ini, nasibnya dan nasib yang dialami oleh bocah perempuan bernama Hani itu merupakan predestinasi dari langit untuk mereka?!
Ia menggeleng. Ia sendiri tidak tahu!

***

“Kakak kok diam, sih?”
“Ah, nggak kok!”
“Kakak juga pakai topi?”
Tatiana mengangguk. “Iya, tapi bukan topi seperti punya Hani. Topi Kak Tatiana ini lain. Seperti rambut. Namanya wig.”
“Wig?”
“He-eh,” angguk Tatiana, lalu menggeraikan sebagian rambutnya ke depan. “Ini. Jadi wig ini adalah rambut palsu.”
“Hah?” Bocah perempuan itu ternganga. “Kalau begitu, Kakak nggak pernah diledekin botak, dong?”
“Nggak pernah. Karena wig ini menutupi kepala Kakak yang gundul.”
“Kalau begitu, Hani boleh juga dong pakai wig!”
“Boleh. Tapi, nanti ya kalau Hani sudah besar dan dewasa.”
“Ta-tapi….” Bocah perempuan itu memberengut. “Hani mau pakai sekarang! Hani nggak mau tunggu sampai dewasa. Kalau dewasa, kepala Hani yang botak sudah ditumbuhi rambut. Jadinya percuma!”
Tatiana mengusap wajah. Ia tercenung mendengar kalimat lugu bocah perempuan itu. Ada pengharapan dan semangat hidup yang terpancar dari sana, meski sebenarnya Sang Waktu hanya menyisakan hembusan-hembusan napas yang kian hari memendek bagi mereka.
Dibukanya lembaran silam masa lalu dalam ingatannya. Ia seperti tidak pernah lepas dari prahara. Setelah Mama meninggal dalam sebuah insiden tabrak lari tiga tahun lalu, satu tahun kemudian setelah kejadian tragis itu, ia kembali dihadapkan pada kenyataan getir. Kanker in situ pada otaknya yang divonis dokter setelah beberapa kali terkulai pingsan di kelas, baginya tidak lebih dari kiamat. Dunianya sudah hancur!
Dari hari ke hari kankernya menjalar dan mengganas. Lalu serangkaian kemoterapi pun dijalaninya. Mengorbankan mahkota di kepalanya. Dari menipis, rontok, hingga plontos sama sekali. Ia pasrah. Tidak ada gairah untuk melanjutkan hidupnya lagi. Kadang-kadang setelah menguras seluruh airmatanya, ia berpikir untuk bertindak irasional. Menghabisi nyawanya sendiri!
Namun, ajal yang diinginkan rupanya belum menjemput. Takdir belum menghendaki ia berbuat begitu. Berkali-kali ia gagal melakukan niatnya yang babur jika mengingat betapa hancurnya hati Papa bila putri tunggalnya pun pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya!
Karenanya, diurungkannya niatnya itu. Dan lebih memilih menjalani sisa hari-harinya dengan lelaki baik hati yang telah diakrabinya bahkan sejak bayi. Tumbuh bersamanya, menjalani rangkaian hidup yang terasa sangat menyiksa dan melelahkan.
Ia berusaha bersikap tabah. Namun tak urung rasa gentar menggerogoti hatinya. Dimensi lain dari Sang Waktu demikian menakutkannya. Dinantinya ajal menjemput dengan sejumput ragu. Ia ingin memberontak. Ia ingin terbebas dari kekangan derita yang sudah hadir dalam kehidupannya sejak kehilangan Mama tiga tahun yang lalu.
Ia ingin menghentikan semua itu. Karena ia gamang. Takut terhadap dimensi lain dari Sang Waktu yang sudah mendekat. Yang akan memendekkan perjalanan usianya.
Entah kapan.

***

Bocah perempuan itu terus merengek. Dan ia menangis meraung-raung sampai menyita perhatian beberapa pasien kanker yang sedang menunggu giliran untuk menjalani kemoterapi. Serangkaian pengobatan yang kadang-kadang lebih mengerikan dan menyakitkan ketimbang penyakit kanker itu sendiri.
“Hani, nggak boleh rewel! Nanti Om Dokternya marah!”
“Tapi, Hani mau wig seperti punya Kakak, Ma!”
“Iya, iya. Nanti Mama belikan di mal. Sekarang, Hani diam. Jangan menangis lagi.”
Bocah perempuan itu terdiam. Ia kembali mendekati gadis ringkih di sampingnya. Naik ke atas bangku kayu rumah sakit, lalu membelai rambut palsu Tatiana.
“Hani!” Ibu gadis cilik itu menyergah, berusaha menggebah kelakuan putrinya yang sporadis. “Jangan ganggu Kakak!”
“Nggak kok, Ma!” teriaknya, tidak merasa bersalah. “Hani cuma ingin tahu bagusan mana, rambut palsu atau asli!”
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum dengan rupa subtil, seolah hendak mengatakan maaf pada Tatiana. Ia tidak tega mencegah perbuatan riang Hani. Maka dibiarkannya anaknya itu mengucek-ucek rambut palsu Tatiana seperti sedang mencari kutu rambut.
Tatiana tersenyum geli.
“Rambut palsu nggak sebaik rambut asli ya, Kak?”
“Lho, kenapa?”
“Soalnya, rambut palsu nggak bisa ketombean. Kalau ketombean kan bisa dikeramas dan dishampo setiap hari.”
Tatiana terbahak. Wanita muda ibu dari anak itu juga tertawa. Beberapa pasien kemoterapi yang pas duduk di belakang mereka turut tertawa.
“Makanya, Hani nggak takut disuntik sama Om Dokter. Biar cepat sembuh. Kalau sembuh, rambut Hani kan bisa tumbuh dan panjang seperti punya Barbie!”
“Tapi, katanya tadi pingin pakai wig kayak Kakak?”
“Nggak jadi. Mendingan rambut asli aja. Kalau rambut asli, itu berarti Hani udah sehat. Pokoknya, Hani mau sehat!”
Tatiana menggigit bibirnya. Kerongkongannya memerih. Sama sekali tidak menyangka kalau bocah perempuan jalan enam itu dapat setegar itu menjalani hari-harinya yang tersisa. Ketika Sang Waktu sudah nyaris menghentikan detak-detaknya yang melambat.
Airmatanya menitik.
Dimensi lain Sang Waktu sudah di ambang pintu. Mungkin besok atau lusa, entah, ia sudah tidak berada di planet biru yang hangat ini lagi. Menjelang hari-hari baru dari dimensi lain Sang Waktu.
Sependek apa pun waktunya kini, mesti dijalaninya dengan sebaik-baiknya. 
Oleh Effendy Wongso

Foto: Effendy Wongso
Prolog
           
Namaku Linda. Lindawati Tandean. Saat ini aku masih kelas dua SMA. Meski demikian, anak-anak menganggapku yang yunior ini sebagai pemimpin mereka. Tidak Ketua Osis, tidak Ketua Kelas. Pokoknya, dalam hal apa saja aku selalu dijadikan tokoh panutan. Aku tidak tahu pesona apa yang aku miliki sehingga mereka selalu menempatkan aku pada posisi pemimpin. Cuma yang aku tahu, mereka bilang aku selalu bersikap adil dan tidak sok toku. Entahlah. Yang pasti aku hanya mengikuti kata hatiku. Dan tidak tahan melihat mereka yang lemah tertindas oleh yang kuat.
Nah, sahabat. Aku punya stori tentang itu. Aku akan menceritakannya. Bukan sebagai obyek bahan kebanggaan tentang sifatku yang dikagumi oleh teman-temanku, tapi hanyalah sebagai pengalaman agar dapat berlaku jujur. Bekal kebajikan bagi kita kelak.
Namun lebih dari itu semua, aku menemukan satu arti yang hakiki. Bahwa nilai persahabatan jauh lebih murni ketimbang apapun juga.

***

Gerakannya gemulai. Lebih luwes bahkan dari beberapa gadis balerina peserta pentas akbar se-SMA di Makassar nanti. Sungguh merupakan penokohan rumit di luar limit naratif yang seperti sudah ditentukan dari langit!
“Mawar!”
“Hai, Linda Sayang!”
Saya sedikit risih setiap tangan Mawar menyentuh bahu saya. Kebiasaannya yang sudah terbawa sejak bahkan dari orok. Sebenarnya saya tidak suka. Tapi mau apa? Toh saya tidak bisa memprotesnya, karena dia lebih memilih masuk ke dalam kaum kami.
“Bagaimana latihannya?” tanya saya berbasa-basi.
“Ufh, ike capek minta amplop deh!”
Saya tersenyum. Sebuah rutinitas separo paksa. Makhluk setengah cowok setengah cewek bernama waria ini sebetulnya menyenangkan juga. Dia kadang-kadang menjadi narator aktif geng kami. Kalau sudah bicara seperti ketel uap. Ramai seperti pasar.
“Lin….”
“What?”
“Besok ke mal, yuk!”
“Ngapain?”
“Mau berburu macan!”
“Hah?!”
“Lin, Lin. Memangnya mau ngapain?! Ya, shopping dong!”
“Saya lagi sibuk. Lagian, pertunjukan tinggal seminggu lagi. Kita harus latihan.”
“Dih, ike benci deh! Latihan melulu. Memangnya kalau jeda barang satu hari saja ‘Anna Karenina’-nya bakal lari, apa?”
Saya kembali mengembangkan bibir. Anna Karenina yang dia maksud merupakan tokoh perempuan yang bakal diperankan oleh Joshepine Bunga, teman kami. Anna Karenina merupakan tokoh protagonis pada sebuah novel karya Tolstoy, pengarang besar asal Rusia, yang sukses diangkat menjadi tema-tema dalam pertunjukan teater maupun balet di mancanegara.
“Pentas nanti itu akbar, Mawar. Kita tidak boleh main-main.”
“Idih, siapa juga yang bilang pentas nanti kecil? Lagian, siapa juga yang main-main? Ike kan cuma mau istirahat. Bete, tahu?”
“Capek sedikit kan tidak apa-apa. Lagian, pertunjukan akbar begini jarang-jarang ada.”
“Iya, sih. Tapi….”
“Sudahlah, War. Kalau sukses, geng kita juga yang untung, kan? Kamu pikir siapa?”
“Ember.”
“Makanya.”
“Hm, kalau ike terkenal en kondang, ike bisa jadi bintang sinetron dong, Lin?”
“Tentu saja.”
“Main bareng Nicholas Saputra?! Auh! Asyik banget!”
“Iya, kalau penampilan kamu nanti bagus. Makanya, mulai dari sekarang latihannya yang serius dan ulet, dong!”
“Oke, deh!”
Mawar mengedipkan matanya dengan tengil. Kelakuannya yang ganjen bikin saya terkikik. Cara jalannya melebihi perempuan, lebih melenggok ketimbang bebek. Lucu. Tapi meski begitu, dia merupakan bagian dari geng kami. Bagi kami, lepas dari jelek-buruk serta ambiguitas sosoknya sebagai manusia yang utuh, ibarat organ tubuh, Mawar Larasanti¾demikian nama samarannya, adalah bagian yang tak terpisahkan.
“Jadi….”
“Jadi acara ke malnya ditunda saja ya, Lin. Sehabis mentas, nah baru kita ngacir ke mal. Dan, SHOPPIIIINGG habis!”
Saya terbahak.

***

“Lindawati Tandean.”
“Ya. Saya.”
“Eliana Boy Tarampa.”
“Yap!”
“Nadita….”
“Hadir!”
“Agustinus Trimawarto.”
“Ike bo!”
“Agustinus Trimawarto!”
“Ike, oiiii….”
“Agustinus Trimawarto, ada tidak?!”
Saya terkikik. Indra pangling. Saya menarik tubuh jangkung Mawar ke depan barisan. Cowok salah satu panitia penyelenggara balet tingkat SMA se-Makassar itu terkesiap. Kertas daftar nama peserta balet geng saya jatuh tanpa disengaja dari tangannya. Saya mengerutkan dahi.
“A-Agustinus Tri….”
“Mawar!” Mawar tunjuk jari, menyembulkan barisan giginya yang rapi. Masih seperti kebiasaannya, gaya khas waria.
“Kamu Agustinus?!”
“Yoi. Eh, ada apa sih? Ike cakep ya, sampai yei terpana gitchu?!”
Indra mendengus. Mengalihkan wajahnya. Dia tampak kikuk. Ditelusurinya kembali daftar nama yang telah dipungutnya dari lantai.
“Joshepine Bunga?”
“Saya.”
“Tanti Prastika!”
“Ada.”
“Terakhir, Eva Roring.”
“Yap.”

***

Keputusan itu bagai petir di pendengaran saya. Mawar dicoret dalam daftar keanggotaan. Tanpa alasan yang jelas. Indra mengetukkan palu amanat yang membuat darah saya menggelegak!
“Saya tidak ingin pentas akbar nanti direcoki oleh satu jenis manusia yang tidak beridentitas jelas!”
Ya, Tuhan!
“Kamu tidak bisa bertindak gegabah dan tidak fair begitu dong, Indra!”
“Saya sudah bertindak fair dengan memberi kalian kebebasan memilih anggota yang layak sebagai balerina untuk pentas nanti!”
“Mawar….”
“Heh, nama bagus kok diganti-ganti. Agustinus Trimawarto menjadi Mawar?! Lucu!”
“Dia sudah menunjukkan eksistensi sebagai balerina andal. Kami sudah menghabiskan dua bulan latihan dan persiapan untuk pentas!”
“Heh, dipikirnya hanya dengan latihan yang tekun maka dia dapat menjadi balerina te-o-pe be-ge-te?! Sori, suruh dia enyahkan saja cita-citanya yang setinggi langit itu, Lin!”
“Kamu tidak objektif!”
“Tidak perlu kacamata objektif segala macam untuk manusia jenis separo itu!”
“Ka-kamu…!”
Sumpah!
Rasanya saya ingin menampar mukanya yang pongah itu!
“Lagian, untuk apa mempertahankan anak itu?!” Indra berkacak pinggang seperti wayang golek. “Memangnya balerina hanya dia seorang?!”
Saya tidak dapat menahan emosi. “Ngomong kok seperti muntah?! Tidak pakai seleksi otak!”
“Pokoknya saya ingin pentas nanti steril dari kuman.”
“Kuman biang perusak pentas itu kamu, Indra! Bukan Mawar!”
“Oya?!”
“Saya heran orang sekeji kamu kok dapat menjadi panitia. Sama sekali tidak bernurani!”
“Terserah! Ngotot si Bancimu itu ikut dengan konsekuensi gengmu tercoret, atau….”
“Saya akan mengajukan protes ke Ketua Panitia!”
“Percuma! Kami panitia sudah sepakat dengan keputusan mencoret nama si Banci itu!”
“Ka-kamu keterlaluan!”
“So, pilih coret dia atau semua anggota gengmu terberangus!”
Saya mengatupkan geraham. Cowok itu sudah tidak rasional dalam mengambil keputusan. Keterlaluan. Saya benci melihat wajahnya yang kekanak-kanakan itu!
“Saya pilih mundur!”

***

“Kalian harus tetap ikut, Lin.”
“Saya sudah putuskan untuk mundur!”
“Aduh, jangan. Biar ike berkorban, deh!”
“Kamu adalah bagian dari geng kita.”
“Tapi, ini pentas akbar lho, Lin. Jangan buang kesempatan bagus untuk tunjukin kebolehan geng kita.”
“Harapan saya sudah punah begitu melihat muka anak tidak punya hati itu, War!”
“Tapi….”
“Sudahlah. Kamu jangan cemas begitu, dong. Dunia masih tetap berputar kan, kalau geng kita tidak ikut pentas?”
“Iya, sih. Tapi, ike sedih banget!”
“Kenapa?”
“Semuanya gara-gara ike, ih!” Mawar menampar pipinya sendiri. “Ike benci deh, diri ike ini!”
Saya genggam tangan Mawar. Dia menitikkan airmata. Menjatuhkan kepalanya di pundak saya. Sesenggukan dengan tubuh bergetar.
“Jangan begitu, Mawar. Kamu jangan menyalahkan diri sendiri.”
“Tapi, ini juga gara-gara ike yang bencong ini!”
“Memangnya kenapa?”
“Ik-ike ingin nor-normal juga, Lin. Ta-tapi, tidak bisa! Tidak bisa!”
Saya belai rambutnya yang mayang. “Sudahlah.”
“Semuanya memusuhi ike! Semuanya menjauhi ike! Tidak ada yang pernah menganggap ike sebagai manusia normal. Bahkan orangtua ike sendiri membenci diri ike ini! Apa tidak ada tempat untuk ike ini, Lin?!”
“Siapa bilang? Buktinya, kamu kami anggap sebagai saudara, kan? Dan, lihat buktinya. Geng kita lebih memilih mundur dari pentas akbar itu ketimbang kalau kamu tidak ikut karena dicoret dalam daftar anggota!”
Airmata Mawar menderas.
“Tengkyu, Lin! Hanya yei satu-satunya sahabat setia ike!”
“Tentu, tentu.”
“Dan cuma yei yang tetap panggil ike dengan nama Mawar!”
Saya mengangguk. Mendadak merasakan kepedihan Mawar yang seperti tak berujung. Entah kapan dunia dapat menerima kehadirannya. Utuh sebagai manusia. Makhluk paling mulia ciptaan Sang Khalik. (blogkatahatiku.blogspot.com)
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home