Oleh Effendy Wongso
Foto: Dok KATA HATIKU |
Evangelis Jeanette van deer Wijk mengulas senyum begitu masuk melewati bingkai pintu di bangsalnya. Sebuah in optima forma yang membuat Joan Hans Tanamal selalu rikuh, menyambut sepasang mata teduh itu dengan sontak duduk dari berbaring di ranjang.
“Eh, kamu jangan banyak bergerak!”
Wanita muda itu melangkah gegas separo berlari. Tiba di gigir ranjang, menyentuh bahu gadis yang mendapat repertum tifus dari dokter seminggu lalu.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Baik, Eva.”
Dipanggilnya pendeta Protestan itu dengan nama Eva, kependekan dari evangelis. Evangelis sebenarnya berasal dari kata evangeli, tanpa huruf ‘s’, secara harfiah dapat diartikan sebagai ajaran Kristus.
“Eh, aku bawakan kamu buah apel.”
“Eva kok repot-repot, sih.”
“Tidak seberapa. Cuma buah pencuci mulut yang aku beli di depan rumah sakit tadi.”
“Terima kasih.”
“Panasmu sudah turun?”
“Jauh lebih baik, Eva.”
“Puji Tuhan!”
“Terima kasih, Eva.”
“Papi dan Mamimu mana?”
“Mereka belum kemari. Mungkin sore nanti.”
“Jadi, mereka tidak menemani kamu di bangsal ini?”
“Tidak, Eva. Aku yang minta mereka supaya tidak usah menginap di sini.”
“Oh. Tapi apakah kamu tidak kesepian tinggal sendiri?”
“Tidak, Eva.”
“Syukurlah.”
“Setiap malam aku ditemani Suster Caroline.”
“Suster Caroline?”
“Dia suster muda di sini. Kurang lebih sebaya.”
“Hm, berarti kamu tidak kesepian.”
“Ya. Suster itu baik sekali.”
“Wah, menyenangkan sekali. Kamu punya teman ngobrol, dong!”
“He-eh. Bahkan kadang-kadang dia menemaniku sampai fajar.”
“Kalau begitu, aku tidak perlu khawatir lagi.”
“Suster Caroline menyenangkan sekali. Dia banyak bercerita tentang masa lalunya.”
“Oya? Hm, di mana dia?”
“Dia kena tugas shift malam.”
Ev. Jeanette van deer Wijk mengurai simpul bibir. Gadis jalan enam belas ini memang jauh lebih dewasa. Disikapinya dengan tulus kerabat dari pihak ayahnya, warga negara Belanda keturunan Ambon di Amsterdam yang tengah terkapar sakit. Ia setiap hari datang untuk mendoakan kesembuhan saudara misannya yang berkulit sawo matang itu.
Setelah berdoa seperti biasa, wanita muda berambut emas itu pun pamit undur. Dikecupnya kening adik misannya itu sebagai tanda pisah.
“Hm, sampaikan salamku untuk Papi-Mami kamu kalau datang menjengukmu sore nanti.”
“Tentu. Terima kasih banyak, Eva. ”
“Bye.”
“Bye!”
Rumah sakit Dutch Ziekenhuis masih menyeruakkan atmosfer yang sama ketika gadis berambut emas itu melangkah pulang. Genangan bau alkohol dan formalin menusuk hidung, keluar dari ruang-ruang pesakitan. Iklim koridor pun tak jauh berbeda. Lalu-lalang manusia yang dihikmahi sakit oleh Sang Khalik merupakan bagian dari karunia alam. Keterbatasan yang merupakan limit margin atas keegosentrisan kuasa anak-anak manusia!
***
Gadis berkerudung putih itu muncul seperti biasa. Sepasang mata birunya menatap lunak, seperti serum yang mengeradiksi jutaan virus tifus di ususnya. Seperti halnya Ev Jeanette van deer Wijk, gadis itu memang sebaik bidadari. Disyukurinya rahmat Ilahi, menghadirkan dua sosok serupa malaikat berhati putih.
“Hai….”
Gadis itu duduk takzim seperti biasa setelah menyapa. Mengukur tensi suhu badan Joan di dahi dengan telapak tangannya yang dingin. Menyentuh pipinya yang tirus kemudian.
“Sudah mendingan.”
“Kapan aku dapat pulang, Suster Carol?”
Wajah suster muda itu sontak babur. Sebuah penggambaran jelas tentang ketidakrelaan. Ia menggigit bibirnya.
“Dua hari lagi kamu pasti bisa pulang.”
“Suster Carol kenapa?”
Gadis itu membeku. Kepalanya menekuk dada. Joan menatapnya dengan rupa mafhum. Ia tahu bagaimana rasanya perpisahan.
“Suster Carol jangan sedih begitu, dong. Kita kan masih bisa ketemu lagi. Tapi, bukan di sini. Tentu saja aku tidak ingin menemui Suster Carol di tempat ini. Heh, Suster Carol pikir enak apa jadi orang sakit?”
Suster muda itu mengurai simpul bibir, berusaha mengakuri guyonan itu sebagai penawar sakit hati. Diteruskannya menunduk, bentuk ritualnya yang karib. Dibenturkannya sepasang matanya ke lantai putih, menghitung serabut hari berupa detik yang bakal jadi pemisah dua hati.
“Tapi….”
“Aku tahu, Suster Carol pasti sedih kalau aku pulang. Aku juga sedih, Suster Carol! Tapi, tidak mungkin kan aku terus menerus terbaring di rumah sakit ini? Kita bisa bertemu kapan dan di mana saja. Aku yang ke rumah Suster Carol, atau Suster Carol yang ke rumahku.”
“Aku tidak memiliki rumah!”
Joan refleks tersenyum. Dipandanginya lamat gadis berseragam putih-putih itu. Ia pasti sedang berguyon.
“Hei, sejak kapan Suster Carol bisa bercanda begitu? Setiap hari wajah Suster Carol murung. Pucat seperti tembok. Sekarang….”
“Betul. Aku tidak memiliki rumah!”
“Jadi, Suster Carol tinggal di mana?”
“Di rumah sakit ini.”
“Oh, maksud Suster Carol, di asrama perawat di ujung selatan sana, kan?”
Suster muda itu kembali membeku. Tidak ada anggukan sebagai jawaban. Ia membisu seperti biasa. Tak terasa ada airmatanya menitik!
“Sus-Suster Carol menangis?!”
“Mereka semua meninggal!”
“Siapa?!”
“Keluargaku! Mereka semua dibantai oleh tentara Dai Nippon!”
Joan kemekmek. Ia mengernyit dengan rupa tak mengerti. Gadis itu jadi aneh. Kalimatnya ngawur!
“Suster Carol ngomong apa sih?!”
Joan mengenal Caroline Nathaniel Verbruggen dua hari setelah ia dirawat di rumah sakit ini. Salah satu perawat rumah sakit itu selalu datang menjenguknya pada malam hari. Saat semua penghuni rumah sakit terlelap dibuai inang mimpi, selepas malam pada saat dini hari menjelang, maka dia akan datang menemani Joan. Merawat dengan telaten, membantu melayani ia minum obat, dan juga menungguinya sambil bercerita. Bercerita tentang apa saja. Kadang-kadang ia mendongeng tentang tokoh batil penyihir dari masa lampau, juga cerita-cerita rakyat dari Negeri Kincir Angin.
Tapi ia paling senang bercerita tentang negeri khatulistiwa bernama Nederlands Indisch (Hindia Belanda), kini Indonesia. Juga tentang keindahan pesisir pantai di Moluccas (Maluku), salah satu pulau di negara beriklim tropis itu. Tempat di mana moyang Joan beranak-pinak. Sekarang daerah itu bernama Maluku. Bagian dari Republik Indonesia. Ribuan mil jauhnya dari Amsterdam. Salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara.
Namun sekarang gadis yang kurang lebih berumur dua tahun lebih tua darinya itu mulai berubah menunjukkan sikap debil. Makna kalimatnya tak terpahami. Intensitas labil yang konstan menyertai tingkah misteriusnya.
“Api membakar semuanya! Api melalap semuanya! Tidak ada yang selamat! Mereka semua terpanggang!”
Joan menghela napas panjang. Alam pikirannya babur. Sama sekali tidak mampu menerjemahkan bahasa suster muda itu di dalam benaknya.
Ia termangu lama sampai suster muda itu menghilang di balik pintu bangsalnya.
***
“Caroline Nathaniel Verbruggen.”
“Caroline Nathaniel Verbruggen?!”
“Ya.”
“Tidak ada suster di sini yang bernama begitu.”
“Tidak mungkin. Sudah enam hari dia menemani saya di bangsal, Suster!”
“Apa saya perlu mengobrak-abrik semua isi lemari arsip yang ada di rumah sakit ini?!”
“Tapi….”
“Sudahlah. Biasanya gejala tifus dengan komplikasi demam tinggi memang selalu bikin orang berhalusinasi!”
“Saya tidak bohong Suster!”
“Saya tidak bilang kamu bohong!”
Joan kecewa. Menjelang sehari kepulangannya, Caroline Nathaniel Verbruggen tidak datang menjenguknya lagi. Semalam ia tidak datang. Sampai fajar pun ia menunggu, namun suster muda itu tetap tidak muncul.
Sekarang ia mencak-mencak di kantor administrasi rumah sakit. Bersitegang dengan salah satu suster pengurus administrasi di rumah sakit. Membongkar semua arsip nama para perawat dan dokter. Tapi nama Caroline Nathaniel Verbruggen tetap tidak ada.
“Sudahlah, Joan. Papi-Mami kamu sudah lama menunggu di ruang tunggu. Sekarang kita pulang.”
Joan masih tidak rela. Ia menampik ajakan Ev Jeanette van deer Wijk untuk meninggalkan rumah sakit sebelum bertemu dengan Caroline Nathaniel Verbruggen. Juga sebelum ia menemukan data valid tentang gadis itu. Ia malah menitikkan airmata. Menangis tertahan seperti anak kecil.
“Aku tidak bisa meninggalkan dia sebelum pamit, Eva!”
“Iya, iya. Aku tahu. Tapi, suster itu memang tidak ada! Mau bagaimana lagi?”
“Tapi….”
“Joan, jangan seperti anak kecil merengek begitu dong!”
Ev Jeanette van deer Wijk menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu keras kepala. Tapi dia memang merasa sedikit heran dengan kekerasan hati Joan. Apalagi Joan memang pernah menceritakan perihal suster muda itu kepadanya. Namun berangsur digebahnya karena menganggap kalimat gadis itu hanya igauan belaka akibat demam tinggi gejala penderita tifus.
Joan berlari setelah disentaknya cekalan tangan putri dari saudara perempuan ayahnya yang bersuami Londo (Belanda), keturunan Ambon bermarga Tanamal itu. Ia mencari ke seluruh ruang bangsal depan. Tapi gadis yang dicarinya itu tidak ketemu juga. Ia tidak percaya penjelasan suster pengurus administrasi rumah sakit berbadan gemuk itu. Yang mengatakan kepadanya bahwa, nama gadis yang dimaksud sama sekali tidak ada dalam daftar para perawat dan dokter yang bertugas di sana. Nyaris dua jam ia di ruang administrasi tadi. Mengaduk-aduk arsip dan data demi menemukan satu nama itu.
“Joan Hans Tanamal!”
Suster berbadan gemuk itu datang tergopoh-gopoh. Ia mengacung-acungkan selembar kertas yang sudah menguning buram. Diburainya konsentrasi gadis itu yang tengah mencari suster muda sahabat baru yang diakrabinya enam hari belakangan ini.
“Namanya, Caroline Nathaniel Verbruggen!”
Joan mengangguk semangat. Ia tersenyum sumringah. Akhirnya gadis yang dicari-carinya….
“Caroline Nathaniel Verbruggen. Lahir di Amsterdam, 14 Juli 1926 dan meninggal 6 Agustus 1943 di Moluccas, Nederlands Indisch, sekarang negara itu bernama Indonesia. Perawat angkatan pertama di Dutch Ziekenhuis ini. Gugur dalam tugas Palang Merah Nederland di sana. Orangtuanya yang merupakan dokter, juga tewas terpanggang di sana. Nyaris semua dokter maupun perawat tewas dalam perang Asia Pasifik pada waktu itu.”
Joan terkesiap. Dibacanya selembar kertas tua itu. Ada nama Caroline Nathaniel Verbruggen tercetak dengan tinta hampir pudar di sana. Semacam sertfikat penghargaan atas jasa seseorang. Ditandatangani pada 31 Agustus 1947, HUT pejabat dan pemimpin kerajaan Nederland waktu itu. Ratu Wilhelmina!
“Tapi, jelas-jelas saya bersama dia dalam enam hari belakangan ini kok!”
“Tidak mungkin, kecuali kamu sedang bertemu dengan arwah dia!”
Suster gemuk itu terbahak. Tubuhnya yang bergelambir tampak mengguncang. Joan mumet. Guyonannya tidak ditanggapi. Ia masih sibuk menekuri jalan pikirannya sendiri. Meraba-raba keabsahan pertemuannya dengan suster muda itu. Tidak mungkin ia bermimpi!
“Ta-tapi….”
Suster gemuk itu mengernyit di akhir tawanya. Ia juga merasa heran dengan fenomena yang dialami oleh salah satu pasien di rumah sakit ini. Bagaimana gadis itu bisa tahu ada seorang perawat yang bernama Caroline Nathaniel Verbruggen, yang sudah meninggal puluhan tahun lalu?
Joan masih termangu ketika suster bertubuh besar itu mengedikkan bahunya, meringis dengan mimik gidik, lalu meninggalkan mereka berdua dengan langkah gegas.
Semuanya masih misteri. (blogkatahatiku.blogspot.com)