Oleh Weni Lauwdy Ratana

Foto: Dok KATA HATIKU
Dahulu kala, di Tiongkok kuno lahirlah seorang kaisar cilik yang cerdik.
Dia bernama Kai Xing (Bahagia). Dia merupakan kaisar cilik yang terpaksa menduduki takhta kerajaan karena sang Ayahanda, kaisar yang memerintah pada waktu itu, mangkat karena sakit. Maka sebagai putra tunggal pewaris takhta, mau tidak mau dia harus menjabat meskipun masih sangat kecil dan baru berusia tujuh tahun. Namun, meski kecil dan masih suka bermain, Kai Xing sangat pintar dan cerdas.
Tetapi di dalam kerajaan yang dipimpinnya, banyak penasihat dan kasim raja yang jahat serta berambisi menggeser Kai Xing dari kursi kaisar. Alasannya, Kai Xing masih terlalu kecil untuk memimpin sebuah kerajaan yang besar. Kai Xing hanya boleh menjabat sebagai kaisar formalitas, dan bukannya penentu kebijakan pemerintahan.
Kai Xing yang cerdas melihat gelagat jahat dan mencurigakan para penasehatnya. Terlebih-lebih ketika semasa sang Ayahandanya masih hidup, dia sering mendengar berita buruk tentang perilaku tidak adil para penasehat dan kasim yang berkuasa terhadap rakyat kecil. Maka dalam sebuah keputusan yang diprakarsai oleh seorang penasehat tua ambisius bernama Lee Yong, dia pun berhasil mementahkan anggapan bahwa ia belum pantas memimpin negara.

***

Alangkah terkejutnya dan kecewanya semua Penasihat dan Kasim istana. Mereka tidak akan menyangka kalau Kaisar Kai Xing lulus dalam ujian yang sengaja diciptakan mereka untuk menjebak.
"Mohon ampun, Yang Mulia Permaisuri," ujar Penasehat Lee Yong setengah membungkukkan badannya di depan sang Ibunda Kaisar Kai Xing. "Kami, para Pengabdi Kekaisaran, masih menganggap Kaisar Kai Xing terlalu kecil untuk menjalankan roda pemerintahan. Kita tidak boleh membebankan tugas mahaberat kepada Kaisar Kai Xing yang terbilang anak-anak. Biarkanlah ia bermain selayaknya anak-anak, dan biarkan kami yang meneruskan tugas almarhum Baginda Kaisar."
Permaisuri mendiang Kaisar terdahulu, yang merupakan ibu kandung Kai Xing hanya manggut-manggut. Sebetulnya dia tak terlalu paham dengan urusan negara. Maka dia hanya mendengar dan mendengar sebelum menyetujui usulan Penasehat Lee Yong.
"Baik, aku akan menyetujui usulan kalian. Tetapi, apakah Kaisar Kai Xing memang belum sanggup memerintah negara?" tanya sang Permaisuri, masih menimbang-nimbang sebelum memutuskan. "Dalam hal apakah kalian menganggap ia belum mampu menanggung beban berat negara?"
Penasehat Lee Yong, dengan sikap sedikit menjilat memaparkan. "Mohon ampun, Yang Mulia Permaisuri. Bukannya menganggap enteng Kaisar Kai Xing yang masih kanak-kanak, tetapi pada dasarnya anak-anak itu masih suka bermain dan masih belum sanggup memikirkan urusan negara. Bukankah begitu, para Penasehat dan Kasim?" tanyanya kepada para Penasehat dan Kasim yang hadir dalam rapat di lobi kerajaan.
Semua Penasehat dan Kasim mengangguk setuju.
"Nah, kalau begitu, aku perlu membuktikan anggapan kalian kalau memang Kaisar Kai Xing belum pantas memerintah," kata sang Permaisuri sembari melirik Kaisar Cilik yang tengah bermain pedang-pedangan dengan salah seorang dayang istana.
"Mohon ampun, Yang Mulia Permaisuri. Kami sudah memutuskan dalam rapat beberapa hari yang lalu, kami akan menguji kemampuan berpikir Kaisar Kai Xing. Jika Kaisar Kai Xing mampu lulus dalam tes itu, maka dia berhak memerintah dan menjalankan roda pemerintahan negara. Tetapi jika gagal, maka kami, para Penasehat dan Kasim-lah yang akan menggantikannya."
Maka sang Permaisuri pun menyetujui usulan itu.
Lalu tema tes pun dikemukakan.
Kaisar Kai Xing disuruh memilih dua lembar lukisan yang nantinya akan dihadapkan di depan seekor kucing. Lukisan pertama bergambar seekor ikan dengan warna merah menyala. Sementara selembar lukisan lainnya hanyalah sebuah tulisan kanji berwarna hitam yang berbunyi 'Yi' (ikan). Kaisar Kai Xing disuruh memilih, lukisan manakah yang akan diincar oleh kucing. Maka dari sanalah dapat dipetik satu kesimpulan tentang alasan mengapa dia memilih lukisan tersebut.
"Aku memilih huruf kanji 'Yi' yang akan diincar oleh kucing!" jawab Kaisar Kai Xing.
Semua Penasehat dan Kasim tersenyum licik.
"Baik, kita akan membuktikan kebenaraan pilihan Kaisar Kai Xing. Besok, tes akan dimulai untuk menentukan apakah Kaisar Kai Xing berhak memerintah negara atau tidak. Jadi, jika kucing memilih lukisan berhuruf kanji 'Yi' itu, berarti Kaisar Kai Xing lulus dalam ujian, namun jika kucing memilih lukisan bergambar ikan maka Kaisar Kai Xing dianggap tidak lulus."
Semua mengangguk-anggukkan kepala, lagi-lagi dengan tersenyum licik penuh arti.

***

Di dalam kamarnya, Kaisar Kai Xing menatap lama dua lembar lukisan itu. Dia berpikir keras dan mencari akal sampai menemukan sebuah ide gemilang. Malamnya, dia mengendap-ngendap keluar dari dalam kamarnya untuk pergi menuju sebuah kolam ikan istana. Dicelupkannya lukisan berhuruf kanji 'Yi' itu ke dalam kolam ikan sesampainya dia di sana. Setelah menenggelamkan lukisan itu agak lama, maka dia pun mengeringkan lukisan tersebut dengan mengangin-anginkannya sebentar. Setelah kering, dia kembali ke dalam kamarnya.
Besoknya, tes pun dimulai.
Dua lembar lukisan tersebut dihadapkan di depan seekor kucing.
Dan tanpa dinyana lagi, setelah mengendus-endus sebentar, kucing itu pun langsung menyambar lalu mencakar-cakar lukisan berhuruf kanji 'Yi' tersebut, yang sudah beraroma 'ikan' hasil celupannya di dalam kolam ikan.
Alangkah terkejutnya dan kecewanya semua Penasihat dan Kasim istana. Mereka tidak akan menyangka kalau Kaisar Kai Xing lulus dalam ujian yang sengaja diciptakan mereka untuk menjebak.
Akhirnya, negara pun dipimpin kembali dengan bijaksana oleh Kaisar Kai Xing hingga dia dewasa. Rakyat hidup makmur dan sejahtera di bawah kepemimpinannya yang adil dan bijaksana. (blogkatahatiku.blogspot.com)
MODELING IS MY SOUL

Senyum menawan yang senantiasa disunggingkan saat melenggak-lenggok di atas catwalk adalah pesona tersendri bagi dara kelahiran Gowa, 2 Oktober 1997 ini. Dengan tubuh yang lampai, ia selaksana magnet bagi para fashionista, khususnya di Kota Makassar.
Ya, ia adalah Nur Fitriani, pelajar putih abu-abu di SMA Kartika Chandra Makassar, yang kini merupakan salah satu model terpopuler di Makassar. Putri bungsu dari lima bersaudara pasangan Kamba Lolla dan Lina Liana ini memang selalu tampak anggun, apalagi ia memang didukung oleh tubuh jenjangnya. Bukan itu saja, model penyuka traveling ini juga masih sangat belia dan tentu saja memiliki prospek yang cerah bagi kariernya di dunia model.
Diwawancarai di sela sesi foto untuk KATA HATIKU, pemilik tinggi 174 cm dan berat badan 50 kg ini mengungkapkan perihal kecintaannya terhadap dunia modeling yang tengah dirintisnya. Inilah ungkapan Fitri menyoal  dunia modelingnya kepada KATA HATIKU.

Foto: Effendy Wongso
Apa yang melatarbelakangi Fitri sehingga sangat tertarik terjun di dunia modeling?
“Menjadi seorang model merupakan cita-cita saya sejak kecil. Obsesi itulah yang membuat saya tertarik di dunia ini (catwalk), karena menurut saya dunia ini fun banget.”

Prestasi apa yang telah diraih Fitri selama menekuni dunia modeling?
“Banyak, ya. Di antaranya saya pernah meraih gelar (dinobatkan) sebagai Miss Trans 2011, Putri Duta Museum 2012, dan Putri Baju Bodo 2012, serta Putri Pertamax 2013.”

Bagi Fitri, apa sih yang harus dilakukan untuk menjadi seorang model profesional?
“Bagi saya, jika mengikuti suatu event, yang saya persiapkan pertama itu adalah mental. Kemudian kita juga harus mempersiapkan diri, apa-apa yang kita butuhkan (pembekalan).”

Sebagai seorang model, tentu Fitri memiliki figur model panutan. Nah, siapa-siapa saja sih model yang Fitri kagumi dan jadikan inspirasi bagi perkembangan karier Fitri di dunia modeling?
 “Tyra Banks… ia sangat terkenal sebagai model dunia. Yang menginspirasi saya (dari Tyra Banks) adalah kecerdasan dan kemampuannya mengorbitkan model-model baru kelas dunia.”

Foto: Effendy Wongso
Selain mendapat inspirasi dari figur model dunia (Tyra Banks), biasanya referensi untuk menjadi model yang baik (profesional), Fitri dapatkan dari mana saja?
“Referensi yang saya dapat biasanya dari majalah fashion, Fashion TV, dan orang yang berpengalaman tentang dunia model di sekitar saya.”

Oh ya, bagaimana dengan orang tua Anda. Maksudnya, apakah mereka mendukung karier Fitri di bidang modeling ini, mengingat usia Fitri kan sangat muda?
“Saya sangat di-support oleh kedua orang tua saya, karena (mereka) melihat bakat dan kemauan saya di dunia modeling, dan itu sudah menjadi cita-cita saya sejak kecil yang ingin menjadi model profesional.”

Bagaimana dengan studi Fitri, apakah tidak terganggu dengan aktivitas Fitri di dunia modeling?
“Alhamdulillah… selama ini semuanya berjalan lancar, baik sekolah maupun kegiatan saya di dunia modeling. Itu semua karena saya selalu berusaha bertanggung jawab terhadap pendidikan dan karier saya sebagai seorang model. Disiplin waktu sangat penting menurut saya agar semuanya bisa berjalan seimbang, dan itu sudah saya terapkan sejak saya masuk di dunia modeling.”

Foto: Effendy Wongso
Kendala apa yang Fitri rasakan saat berkarier di dunia model?
“Kendala saya adalah bahwa saya merasa persaingan di dunia modeling ini sangat ketat, dan saya belum bisa hijrah ke Ibu Kota Jakarta karena faktor pendidikan saya yang tidak bisa ditinggalkan, walaupun saya sering mendapat tawaran dari desainer-desainer Ibu Kota Jakarta untuk hijarah ke Jakarta.”

Pertanyaan terakhir, apa harapan (motivasi) Fitri bagi perempuan Indonesia, khususnya perempuan yang ada di Kota Makassar ini?
 “Saya berharap, khususnya perempuan yang ada di Kota Makassar, harus lebih mandiri dalam segala hal. Mandiri cara berpikir, mandiri cara bertindak, dan mandiri cara mengambil keputusan yang terbaik dalam hidupnya. Semua itu akan menunjang kita menjadi perempuan yang sukses di masa depan.”

Oke, terima kasih ya Fitri, atas waktunya (wawancara dan pemotretan).
“Sama-sama.” (blogkatahatiku.blogspot.com)    
Oleh Anita Anny

Foto: Effendy Wongso
“Namanya panjang banget.”
“Sepanjang apa, Ping?”
“Sepanjang kereta api.”
“Tapi, kayaknya nggak panjang-panjang amat, kok.”
“Maksudmu….”
“Kalau sepanjang The Great Wall, Tembok China, nah itu baru panjang.”
“Nggak bagus punya nama panjang, Mer.”
“Kenapa memangnya?”
“Susah diingat”
“Siapa bilang susah?”
“Tentu aja susah kalau untuk menyebut namanya lidah sampai kelipat-lipat begitu!”
“Hei, memangnya baju apa bisa dilipat?!”
“Hihihi….”
“Eh, nama lengkapnya siapa, sih?”
“Ehem…!”
“Kayaknya….”
“Ehem…!”
“Hei, kamu kenapa sih?! Ehem-ehem melulu! Kalau batuk minum obat batuk  sana!”
“Tadinya sih aku nggak batuk. Tapi, sejak kamu mulai menyinggung cowok itu aku kok, tiba-tiba jadi batuk!”
“Terbalik, atuh! Harusnya yang batuk tuh, dia. Bukan kamu!”
“Oh, iya, ya. Hm, so….”
“So apa?”
“Soto Betawi!”
“Kamu…!”
“Sori, Nek. Don’t be angry. Kamu mau tahu nama lengkap cowok bermata sipit itu, kan?”
“Memangnya kamu pikir siapa?”
“Bagus. Terus terang!”
“Siapa?”
“Raymond Sianipar Yapary alias Yap King Sian.”
“Kok Sianipar? Blaster China-Batak kali, ya?”
“Astaga nih, anak! Memangnya kalau ada nama mirip marga berarti dia itu harus berasal dari daerah asal marga itu?!”
“Tapi….”
“Di Bangkok juga banyak yang bernama Sianipar, Non! Ada Kornkanok Sianipar. Ada Tung Namkonchak Sianipar. Ada Lam Nang Sianipar….”
“Eit, hop-hop. Kok kayak sensus penduduk sih, Ping?”
“Habis….”
“Oke, oke. Trus?”
“Sianipar itu merupakan adaptasi dari nama Chinanya, Sian. Begitu.”
“Oh, I see. Berarti Yapary-nya juga merupakan adaptasi dari Yap.”
“Betul.”
“Lalu, Raymond-nya apa dong?”
“Astaga nih, anak! Merry Anjani Puspitadewi, kok kamu bego-bego begitu, sih?!”
“Eh, memangnya aku salah? Kan, Sianipar-nya itu dari kata Sian. Lalu, Yapary-nya itu dari kata Yap. Nah, adaptasi untuk Raymond-nya apa?”
“Mer, masa sih aku harus bilang kalau Raymond-nya itu diganti dengan Kingmond sih?!”
“Hah?”
“Kalau The Mongkey King sih, iya!”
“Hihihi.”
“Jangan ketawa. Aku lagi sebal, nih!”
“Duh, lagi marah ya?”
“Iya! Darahku sudah mendidih seratus lima puluh derajat celsius karena kebegoanmu itu!”
“Habis….”
“Merry-Merry. Nama Raymond itu hanya caplokan asal. Nggak ada adaptasiannya. Begitu!”
“Oo.”
“Just a name. Nggak punya pengertian apa-apa!”
“Oo.”
“West name. Nama Barat.”
“Oo.”
“Kamu jangan ‘oo-oo-oo’ lagi sebelum aku colok tuh, mulut!”
“Sori. Hihihi….”
“Jadi, mulai sekarang, kamu kudu mengerti. Jangan malu-maluin begitu.”
“Baik, Bos!”

***

“Nah, Si Sian itu….”
“Raymond!”
“Sama aja! Nama panggilannya, A Sian. Lain kali jangan nyalib!”
“Baik, Bos.”
“Orangtuanya pindahan dari Kanada….”
“Katanya, Singapura?”
“Dengar dulu! Aku belum selesai bicara!”
“Baik, Bos.”
“Sebetulnya Papa Si Sian itu original oriental alias China totok!”
“Seperti kamu.”
“You got a right. Tapi, di negerinya sendiri dia nggak mendapat tempat….”
“Tempat apa?”
“Astaga nih, anak! Makanya dengar dulu. Jangan nyalip-nyalip begitu, dong!”
“Sori.”
“Tempat itu, maksudku, just personification. Perlambangan. Hei, kamu belajar bahasa Indonesia nggak, sih?”
“Tentu aja aku belajar!”
“Oh, aku sangka nggak. Soalnya….”
“Hop-hop. Jangan bilangin aku bego lagi! Aku bisa marah lho, Ping!”
“Sori.”
“Nah, trus?”
“Papanya Si Sian itu merupakan pengikut Falun Gong….”
“Apa? Gong Xi Fat Choi…?”
“Astaga nih, anak! Bukan salam tahun baru Imlek itu! Tapi, FA-LUN-GONG!”
“Apa itu?”
“Falun Gong sebetulnya aliran kepercayaan yang tumbuh di China….”
“Apa hubungannya….”
“Hubungannya adalah, bahwa Falun Gong lama kelamaan dianggap mengintervensi politik dalam negeri China. Pengikut Falun Gong juga ditengarai menghembuskan perlawanan antipemerintah di sana. Terbukti dengan banyaknya mahsiswa prodemokrasi yang bercokol di dalamnya.”
“Trus?”
“Jadi, karena dianggap sebagai aliran terlarang, maka anggota-anggota Falun Gong banyak yang ditangkapin. Papanya Si Sian ini melarikan diri. Mulanya ke Kanada. Namun dua tahun kemudian mereka sekeluarga pindah ke Singapura sampai lima tahun karena punya kepentingan bisnis di sana.”
“Kok nyasar di sekolah kita, SMA Regina Pacis ini, alias hijrah ke Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia Bagian Barat ini.”
“Dari Sabang sampai Marauke, berjejer pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Indonesia Tanah Airku, aku berjanji padamu….”
“Eh, hop-hop! Kok jadi paduan suara sih, Ping?!”
“Habis kamunya….”
“Oke. Sori, deh. Nah, trus?”
“Menurut Papaku….”
“Eh, kok nyasar ke Papamu, sih?”
“Memangnya aku yang ke rumahnya, lalu ngomong pakai bahasa naga ‘haiya-ciat-haiya-ciat’ begitu sama bokapnya?!”
“Hihihi. Aku pikir begitu. Kalian kan kebetulan jiranan.”
“Apa itu jiranan?”
“Tetanggaan. Dari bahasa Malaysia, jiran.”
“Oo.”
“Eh, trus kelanjutannya gimana dong, Ping?”
“Hm, karena punya kepentingan bisnis di Indonesia, maka Papanya Si Sian itu memutuskan untuk menetap di sini. So, jadilah Yap King Sian itu menjadi Raymond Sianipar Yapary. Sekolah bersama kita. Begitu.”
“Eh, bisnis apa sih, Ping?”
“Bisnis kodok! Mana aku tahu?! Memangnya aku James Bond si Agen 007 yang memata-matai dia setiap saat?!”

***

“Sian keren. Macho. Seperti Rain.”
“Seperti Vic Chow!”
“Hus, salah!”
“Kenapa salah? Dia kan sabar kayak Hua Ce Lei*.”
“Nah, nah….”
“Ada apa ‘nah-nah’ begitu?”
“Ehem….”
“Kok batuk lagi sih, Ping?!”
“Soalnya….”
“Soalnya apa?!”
“Soalnya kamu….”
“Dih, nih anak gokil kali, ya?”
“Sabar. Pendiam kayak Hua Ce Lei. Ih, aku merinding deh mendengarnya!”
“Dasar gokil!”
“Mendengar pujianmu tadi tentang Si Sian itu kok, akunya tiba-tiba serasa menjadi Shancai.”
“Ka-kamu…!”
“Kura-kura sembunyi di perahu, pura-pura nggak tahu!”
“Kamu kenapa jadi gokil-gokil begitu sih, Ping?!”
“Ehem….”
“Eh, batuk lagi! Aku cekik kamu baru tahu rasa, ya!”
“Tapi, kalian memang serasi banget.”
“Serasi apaan?!”
“Malu aku!”
“Kamu….”
“Yap King Sian dan Merry Anjani Puspitasari. Cocok dijadikan sampel pembauran untuk anak-anak di sekolah kita!”
“Hei…!”
“Oh, come on! Nggak ada salahnya, kan? Kamu cantik. Dia cute. Jadi, apa lagi?!”
“Kurang kerjaan kamu ya, Ping!”
“Memang aku lagi nganggur, jadi nyari pekerjaan sebagai Mak Comblang buat jodohin kamu dengan Yap King Sian!”
“PIIIINGKAAAAANNN…!”
“Hihihi….” (blogkatahatiku.blogspot.com)
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home