Oleh Effendy Wongso
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
tiga kali empat meter, terlalu sempit buat meniup nyawa!
Chairil Anwar
Sebuah Kamar (1946)
|
Foto: Effendy Wongso |
Sinar itu selalu mengusiknya. Sebelum segalanya sempurna dalam dekapan tidurnya yang damai. Tujuh tahun, entah. Mungkin lebih. Delapan barangkali. Ia tidak menghitung persisnya. Sinar itu mengiring langkahnya beranjak dewasa. Kadang-kadang membuainya dengan hangat seperti selimut. Tapi juga mengusiknya. Seperti pagi ini.
Ia menguap setelah mengucek-ucek mata. Dipannya masih terasa hangat. Dan ada ketidakrelaan ketika sepasang kaki telanjangnya itu menyentuh lantai tanah yang dingin. Disibaknya sarung usang yang biasa dipakainya sebagai selimut. Ada cabikan kecil pada tepinya. Tidak terlalu jelek. Sarung itu konon dibuat di pedalaman Sulawesi Selatan. Dirajut secara tradisional dari kepompong ulat sutra. Lebih dikenal dengan nama sarung sutra Bugis.
Kisah tentang sarungnya itu sebenarnya tidak terlalu bagus. Ayahnya yang memberikannya tiga tahun lalu. Sehari sebelum Idul Fitri. Sarung itu merupakan benda terbaik dan paling berharga yang pernah ia miliki. Tidak disangka merupakan pemberian terakhir dari lelaki yang sehari-hari menjadi tukang tambal ban itu. Mengingat semua itu ia seolah dihadapkan pada layar kenangan dengan skenario lara. Bukan hal yang menyenangkan memang. Tapi kisah itu kerap hadir dalam kesendiriannya. Ketika Ibu berangkat kerja sebagai binatu keliling. Ketika Lanang, kakak laki-lakinya pergi mengamen, atau sekali-kali menjadi pengemis dengan menyewa bayi tetangga dengan upah satu nasi bungkus.
Di luar sudah terdengar gaduh rutinitas. Ada derit roda pada katrol timba parigi. Ada bunyi desau air dari kamar mandi berdinding lepa. Ada debum kasur yang ditepuk-tepuk karena baru saja malam tadi diompoli oleh sang orok. Juga bunyi berirama kayuhan patah-patah becak gerobak pedagang sayur. Setiap melewati jalan becek di depan rumahnya, lelaki tua bermata cekung itu selalu kerepotan. Ia harus turun dari sadel. Mendorong becak gerobaknya, sesekali menghindari tanah yang berlubang-lubang dan berlumpur. Lalu setelah berhasil melewati jalan yang selalu menyusahkannya itu, ia akan mengumpat-umpat dengan kalimat yang tidak jelas. Tidak ada yang pernah mengerti. Termasuk perempuan gemuk penjual jamu gendong yang selalu berpapasan dengannya.
Atau, seorang perempuan muda dengan pakaian norak berwarna manyala separo terbuka yang baru pulang dengan mata sembap. Perempuan itu biasa dipanggil Tin si Kupu-kupu Malam. Tin adalah kependekan dari Tinneke. Sebetulnya bukan itu nama sebenarnya. Menurut orang-orang kampung di dekat Kalijodo, perempuan itu aslinya bernama Tinah Suhartin. Dari Jawa. Namun setelah beradaptasi dengan kehidupan perkotaan, seperti bunglon ia pun mengganti namanya. Juga penampilannya.
Dari jalan masuk sinar matahari itu pula ia dapat mengintip semua kejadian pagi yang menjadi ritual harian orang-orang pinggiran. Lubang sobekan pada dinding kardus rumah itu sebesar bola tenis. Samar masih tertangkap buram gambar dan tipografi iklan sebuah rokok di sampingnya. Ada tambalan poster di sana-sini. Wajah lama Michael Jackson yang masih berkulit hitam tampak menguning. Sementara gambar klasik pasangan bintang Nike Ardilla dan Hengky Tornando berlubang-lubang belel dan bolong tersundut api rokok.
Lubang itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Kalau malam, ia dapat mengintip bintang-bintang di langit. Untuk rutinitas malam orang-orang kampung, ia tidak dapat lagi melihat apa-apa lagi selain kekelaman. Tidak ada apa-apa selain suara kodok atau sesekali gonggongan anjing buluk milik seorang pemulung kayu peti asal Madura di kelokan gang sana.
Dari kejauhan terdengar pula ritme gerit roda besi pada sambungan-sambungan rel. Kereta api jurusan Jakarta-Depok seperti tidak ada habis-habisnya. Setiap lima belas atau dua puluh menit sekali bunyi itu mengirama pada gendang telinganya. Suara itu juga kadang-kadang diimbuhi dengan bunyi serak dari sebuah radio tua milik tetangganya yang berjarak dua meter dari rumahnya. Pukul enam pagi tepat, siaran luar negeri BBC London pasti terdengar dari gelombang pendek radio transistornya. Tetangganya itu seorang purnawirawan tentara pada zaman Orde Lama. Semua bunyi tersebut mengirama seiring dengan usianya yang jalan tiga belas. Dan menjadi litani pada kehidupannya yang tawar.
Ia sudah terbiasa dengan ritme kehidupan yang sekian belas tahun diakrabinya.
***
Siang tadi ia mendadak kedatangan tamu penting dari sebuah SMA yang berlokasi di Depok. Seorang siswi. Cantik. Kelihatannya anak orang kaya di kota. Sebetulnya, bukan sengaja. Secara acak siswi itu mendatangi rumah-rumah yang dianggap paling kumuh. Tidak layak untuk ditinggali. Termasuk di rumahnya.
“Kamu sendiri?” ia bertanya, membuka pembicaraan setelah gadis tiga belas itu hanya menundukkan kepala dengan rupa gelisah. Ia duduk di amben belakang, menghadap keluar berseberangan dengan sebuah kanal dengan airnya yang keruh.
“Orangtua kamu?”
“Bapak sudah meninggal, tiga tahun lalu. Ibu lagi kerja, nyuci baju di rumah ibu-ibu di kampung sebelah. Saya ditinggal sampai sore. Tidak boleh ikut. Mesti jaga rumah.”
Siswi itu mengerutkan keningnya. Melongokkan kepala ke arah dalam rumah kardus yang disinggahinya. Diedarkannya matanya ke sekeliling ruangan yang tidak lebih besar ketimbang toilet utama rumahnya di ‘Pondok Indah’. Ini tidak layak disebut rumah. Di mana-mana beterbangan lalat dari tumpukan sampah tidak jauh dari tempat ia sekarang berada. Ia sama sekali tidak menyebut kata ‘rumah’ untuk tempat ini. Karena menurutnya, rumah yang ideal adalah ‘home’. Dalam rumah kategori itu ada keharmonisan dan kedamaian suasana. Tidak seperti di tempat ini. Sangat jorok dan tidak sehat!
“Kamu tidak sekolah?”
“Tidak. Tapi, diajari baca sama Bang Lanang.”
“Siapa dia?”
“Kakak. Bang Lanang pernah sekolah. Tapi cuma sampai kelas lima SD saja. Tidak sampai tamat.”
“Kenapa?”
Gadis itu kembali menundukkan kepala. Binar di matanya meredup. Ia nampak gelagapan.
“Bapak keburu meninggal, Kak.”
Siswi itu terhenyak sesaat. Tapi diuraikannya sebuah senyum paksa, menggebah rasa iba yang menyeruak mendadak. Ia sangat prihatin dengan kondisi yang dilihatnya.
“Kamu boleh panggil nama saya. Wulan. Kalau kamu?”
“Lintang, Kak.”
“Hm, Lintang pernah kepikiran untuk sekolah tidak?”
“Ingin sekali. Tapi, biaya sekolah mahal….”
Wulan menghela napas. Kalimat lugu yang disampaikan Lintang barusan memang merupakan refleksitas kehidupan yang sebenar-benarnya. Bahwa betapa banyak kepincangan yang membumi di Nusantara ini.
“Lintang pernah menabung untuk dapat sekolah. Tapi….”
“Tapi kenapa?”
Gadis berambut kusam itu menggigit pelepah bibirnya. “Tapi Ibu marah. Ibu bilang, Lintang jangan berkhayal dapat sekolah. Karena untuk makan sehari-hari saja susahnya minta ampun.”
“Ibumu bilang begitu?”
“Ya.”
“Lintang kecewa?”
Gadis kecil itu menggeleng. “Tidak, Kak. Lintang sadar, setelah Bapak meninggal, untuk makan nasi bungkus saja kadang-kadang Ibu mesti mengemis di Mpok Minah, pemilik warung nasi di sebelah rumah.”
“Jadi, selama ini apa Lintang tidak punya cita-cita?”
Gadis itu tersenyum samar. “Cita-cita Lintang hanya satu, Kak. Pingin jadi orang kaya!”
Wulan meneguk ludahnya yang terasa memahit. Ini tugas paling berat untuk bahan makalah Lingkungan Hidup yang dipilihnya. Seharusnya ia tidak boleh terbawa perasaan begitu. Sebab hal itu dapat mengganggu konsentrasinya. Bahan tulisannya bakal tidak obyektif lagi.
“Kak Wulan anak gedongan, ya?”
Wulan membeliak. Terkejut dengan pertanyaan dadakan dari Lintang. Ia kemekmek. Entah harus menjawab apa.
“Tidak juga. Tapi, keluarga Kak Lintang tidak susah-susah banget seperti….”
“Aduh, enak ya jadi orang kaya?”
“Ti-tidak selamanya….”
“Siapa bilang tidak enak? Buktinya Bapak meninggal karena ingin menjadi orang kaya….”
“Se-sebenarnya, bagaimana kematian Bapak kamu itu….”
“Persisnya, Lintang tidak tahu, Kak! Tapi, seminggu sebelum Bapak meninggal, Lintang pernah dengar Ibu bertengkar dengan Bapak. Kalau tidak salah dengar, Ibu bilang tidak setuju kalau Bapak ikut Kelompok Kapak Merah!”
Wulan nyaris kelengar. Kelompok Kapak Merah?! Bukankah….
“Dari Ibu, Lintang tahu kalau Kelompok Kapak Merah itu merupakan perkumpulan orang-orang yang sering merampok dan memalak orang-orang kaya bermobil di jalanan.”
“Tapi, kenapa Bapak Lintang sampai terlibat?”
“Kata Ibu, Bapak terpengaruh. Waktu Lintang masih bayi, rumah gubuk kami di Kedungumbo kena gusur secara paksa. Bapak marah, menyimpan dendam sampai sekian tahun. Beserta beberapa sahabatnya, Bapak bergabung dengan Kelompok Kapak Merah. Bapak bilang sama Ibu sebelum meninggal, bahwa dia berjanji hanya akan merampok para pejabat korup saja, yang sudah diincar cermat jauh-jauh hari.”
“Tapi, pada kenyataannya Kelompok Kapak Merah itu semakin meresahkan masyarakat Jakarta, Lintang! Semuanya disikat. Tanpa pandang bulu. Bukannya hanya para pejabat korup saja.”
“Hal itu Lintang tidak mengerti, Kak. Tapi, kata Ibu, sampai di akhir hidupnya pun Bapak tidak pernah mengingkari janjinya. Setiap melaksanakan aksinya, Bapak selalu berusaha menghindari melukai, terlebih-lebih membunuh korbannya. Lagipula, uang hasil rampasan itu pun tidak pernah dipakai untuk berfoya-foya lazimnya perampok lain. Lintang pernah melihat sendiri Bapak membagi-bagikan jatah uangnya untuk tetangga-tetangga yang tidak dapat makan hari itu, kok!”
“Ta-tapi….”
“Bapak seperti Robin Hood ya, Kak?”
“Tapi….”
“Lintang tahu dari Bang Lanang, katanya, menurut koran-koran, apa yang dilakukan Bapak itu salah besar menurut hukum. Tapi, kalau begitu, kenapa tidak ada sanksi untuk para pejabat korup itu? Bukankah kejahatan mereka lebih besar ketimbang aksi Bapak yang dilakukan cuma demi sesuap nasi?”
“Ta-tapi….”
“Kadang-kadang Lintang tidak habis pikir, Kak. Dunia ini rasanya tidak adil. Bapak yang berjuang demi keluarga dan sesuap nasi, akhirnya mati mengenaskan, kena tembak polisi dalam sebuah aksinya. Sementara para koruptor itu melenggang bebas….”
Wulan terlongong mendengarkan ulasan gadis yang baru tumbuh remaja itu. Mulutnya seolah dibekap. Membungkam setiap perbendaharaan kalimat yang hendak terlontar. Ia mematung dengan beragam pikiran yang berkecamuk di benak. Tiba-tiba ia teringat kejahatan kerah putih yang terjadi di Tanah Air. Sebegitu parahkah penyakit lama bangsa besar ini?!
Ia menggigit bibir. Ini refleksitas!
Lalu gadis tiga SMA itu pamit undur. Ia berjanji akan datang esok. Bahan untuk makalahnya memang masih jauh dari cukup. Dirasakannya langkahnya memberat ketika melewati gugusan rumah kardus di perkampungan kumuh tersebut.
Hatinya gamang. (blogkatahatiku.blogspot.com)