Oleh Weni Laudy Ratana
Sebentar lagi UAN kelas tiga berakhir. Itu berarti sebentar lagi anak-anak seantero akan me-nikmati banyak waktu luang untuk berleha-leha. Rileks dari rutinitas formal sekolah yang membebati otak selama ini. Mungkin anak-anak sudah menyusun agenda trip mereka. Ke Bali misalnya. Atau, tempat-tempat wisata lainnya. Tapi vakansi sekolah atau apapun namanya, bagi Tita sama saja. Tidak ada acara santai-santaian. Sebab, saban hari ia mesti membantu Mama. Dari fajar hingga sore hari. Bahkan terkadang sampai malam hari. Jadi, acara liburan yang biasanya diisi dengan perjalanan glamor dan eksklusif begitu memang seharusnya digebahnya jauh-jauh.
Garfield Si Mata Ngantuk seminggu menjelang vakansi masih saja seperti yang dulu. Ia tertidur dengan kepala menelungkup dan beralaskan sepasang punggung tangan sebagai bantal di atas meja kelas. Tak menyadari bahaya yang mengawasinya diam-diam sedari tadi.
Garfield Si Mata Ngantuk adalah julukan teman-teman sekelas bagi Tita Aryanita Ningrum. Seharusnya ia senang dengan julukan yang diberikan teman-teman sekelas kepadanya. Bukankah Garfield merupakan boneka kucing yang lucu dan menggemaskan? Tapi artifisial itu malah menyakiti hatinya. Dan setiap dipanggil dengan Garfield, maka ia hanya dapat menatap bentangan suram masa depan keluarganya dengan airmata berlinang. Diam-diam ia menangis. Menangis tanpa seorang pun yang tahu. Tak terkecuali Dewi!
“Tita!”
Ada suara samar yang menyentuh gendang telinganya. Lalu kalimat bernada bisik itu gegas disertai satu goyangan keras pada bahu. Dewi panik membangunkannya setelah terlambat menyadari kalau gadis anak seorang single parent, yang menghidupi keluarganya dengan membuat dan berjualan penganan di pasar tradisional itu kembali dibuai kantuk. Selama ini Dewi-lah yang selalu menjadi dewi penolongnya. Setiap ia tertidur tanpa sadar, maka Dewi-lah yang selalu membangunkannya. Entah mengapa hari ini Dewi luput dari ritual rutinnya, dan kecolongan tak membangunkan Tita justru ketika Ibu Rita yang sedang mengajar.
“Bangun, dong! Tuh, The Killer manggil kamu!”
Tita terbangun dengan pandangan melamur. Bisikan separo kesal Dewi mengangsur menghilang dari pendengarannya. Sesaat dikucek-kuceknya mata sebelum tingkah rutinnya itu diteriaki dengan ‘huuu’ oleh anak-anak sekelas. Lantas ada derap-derap langkah sepatu yang menyentuh ubin mengarah ke bangkunya di akhir teriakan tidak ngenakin dari anak-anak sekelas tadi. Bu Rita geleng-geleng kepala saat Tita sudah menegakkan kepalanya seperti kobra.
“Tita, coba jawab apa yang dimaksud dengan herpetologi?!”
“Dua puluh butir telur ayam. Lima kilogram tepung terigu. Gula pasir seperempat liter. Setengah botol baking soda....”
Terdengar riuh tawa yang menggemuruh sehingga gedung kelas nyaris runtuh. Bu Rita¾guru biologi itu menggeram, dan sesekali membenarkan letak kacamatanya yang, sebetulnya sama sekali tidak apa-apa sebagai reaksi amarah. Bukan sekali dua Tita begini. Tapi sudah berkali-kali!
“Tita, mulai besok, sekalian kamu bawa kasur dari rumah kamu saja ke dalam kelas. Biar tidurnya lebih nyenyak!”
Tita menundukkan kepalanya karena malu. Digigitnya bibir menahan airmata yang menggumpal di pelupuk. Sementara itu teman-teman sekelasnya masih tertawa dan cekikikan.
“Maaf, Bu,” sahutnya lemah.
“Kali ini Ibu maafkan. Tapi tidak untuk lain kali. Sebab Ibu tidak akan berkompromi de-ngan siswa yang suka tidur di dalam kelas. Sekali lagi Ibu dapati kamu tidur di dalam kelas, maka Ibu akan usir kamu keluar selama mata pelajaran biologi berlangsung. Paham?!”
“Pa-paham, Bu.”
Ibu Rita yang dijuluki The Killer itu melangkah menjauhi Tita yang masih menundukkan kepalanya. Airmatanya sudah menitik. Tidak dapat dibendungnya lagi.
***
“Aku pingin berhenti sekolah, Wi!”
“Ap-apa?!”
Dewi membeliak di akhir kalimat Tita. Udara sore yang sejuk di pekarangan belakang rumah Tita mendadak berubah panas dan gersang. Ia sama sekali tidak menyangka Tita akan mengambil keputusan yang merupakan kiamat dan jalan pintas mengakhiri pendidikan formal seorang siswa.
“Kamu pingin berhenti sekolah?!”
Dan seperti tidak yakin dengan pendengarannya sendiri, gadis berambut cepak itu bertanya kembali. Jawaban atas pertanyaan kurang yakin tersebut ditanggapi dengan anggukan kepala. Tegas meyakinkan keputusannya yang semula. Berhenti sekolah!
“Aduh, Tita! Kamu jangan parno begitu, dong! Masa sih cuma ditegur sama Bu Rita kamu sampai gokil begitu, sih?!”
“Bukan karena soal itu. Toh anak-anak juga selalu meledek aku, kan?”
“Lalu, apa?!”
Tita menggigit bibir. Sesaat ia tercenung sembari memandangi adonan kue dalam waskom yang masih tergeletak di amben rendah samping kursi mereka duduk sekarang.
“Aku mau konsen bantu Mama.”
Dewi menepuk dahinya. “Ya ampun, Tita! Konsen sih konsen. Tapi tidak perlu sampai berhenti sekolah begitu, dong!”
“Tapi....”
“Dengar ya, Ta! Memangnya kamu mau jadi gembel apa tanpa pendidikan yang layak?! Suer, deh! Mama kamu pasti juga tidak setuju kalau kamu mengambil keputusan norak begitu!”
“Tapi....”
“Mama kamu pasti kecewa karena putrinya tidak bakal jadi ‘orang’!”
“Hei, memangnya aku bukan ‘orang’ apa?”
“Jangan bercanda. Aku serius!”
Dewi mengibaskan tangannya di muka wajah Tita. Membungkam senyum pura-pura gadis anak tukang kue di Pasar Minggu itu. Meski iba terhadap keadaan keluarga Tita, tapi kadang-kadang ia merasa jengkel dengan sikap nalar pendek teman sebangkunya di kelas itu.
Seperti hari ini. Tiba-tiba anak itu punya pikiran gokil mau berhenti sekolah. Memangnya ia tidak memikirkan masa depannya apa?! Mau jadi apa anak itu nanti?! Memangnya ia mau menjadi penjual kue di Pasar Minggu seumur hidup?!
Pufh! Padahal....
***
“Tita, sadar dong. Kalau bukan melalui jenjang pendidikan kamu bisa sukses, lalu apa lagi yang bisa kamu harapkan? Lagian, kurang lebih setahun lagi kita sudah lulus. Kalau kamu memutuskan berhenti sekolah, itu sama saja kamu menyia-nyiakan separo hidupmu selama kamu sekolah mulai TK sampai SMP kelas dua ini!”
“Tapi, aku serius pingin bantu Mama. Sepeninggal Papa, Mama kewalahan mencari nafkah untuk kami. Kalau aku berhenti sekolah, maka aku dapat menabung uang sekolah itu untuk hal-hal lain. Nambah modal jualan, misalnya.”
“Jangan picik begitu, Tita! Aku tahu itu hanya alasan kamu supaya dapat menjauhi anak-anak sekelas yang selalu meledek dan menghina kamu. Kamu tuh cuma pingin lari dari kenyataan. Kamu tidak gentle menghadapi mereka. Kamu minder dan rendah diri!”
“Bu-bukan....”
“Sudahlah, Ta. Aku tidak berhak melarang kamu untuk tidak berhenti sekolah. Kamu kan bukan anak kecil yang harus selalu diatur-atur. Aku tuh hanya kasihan sama kamu. Kasihan sama keadaan keluarga kamu. Kalau saja aku memiliki kemampuan dan keajaiban untuk mengubah keadaan keluarga kamu, sudah sedari dulu aku lakukan itu. Tapi aku tidak memiliki kemampuan itu. Justru dari diri kamu sendirilah yang dapat mengubah keadaan keluarga kamu.”
“Tapi....”
“Kamu harus berjuang. Seberat apa pun rintangan yang akan kamu hadapi. Setiap manusia dilahirkan sama. Memiliki kapabilitas yang sama. Kalaupun ada keberhasilan dan kegagalan, itu merupakan proses dari perjuangan diri kita masing-masing. So, please. Urungkanlah niat kamu itu!”
“Ta-tapi....”
“Tidak ada tapi-tapian, Tita! Kamu harus maju terus, sekolah terus. Kamu harus yakin potensi diri kamu. Kamu sebetulnya cerdas, kok. Hanya saja kamu tidak pernah mau menggali potensi diri kamu.”
“Kamu terlalu muluk memandang diriku, Wi!”
“Apanya yang muluk?! Aku bicara kenyataan, kok. Buktinya, meskipun waktu belajarmu di luar sekolah kurang karena lebih banyak membantu Mama kamu, tapi tetap saja hasil nilai-nilai di buku rapor kamu bagus. Malah mendapat rangking sembilan dari tiga puluh orang siswa. Iya, kan?”
“Iya, sih. Tapi, sampai kapan aku dapat membagi waktu aku antara kerja dan sekolah? Nah aku pikir, mulai sekarang aku tuh harus konsekuen memilih. Antara kerja bantu-bantu Mama, atau sekolah.”
“Lho, kamu kan dapat menjalani dua-duanya!”
“Tidak bisa, Dewi! Tidak bisa! Aku harus memilih. Toh kamu lihat selama ini bila tetap menomorsatukan dua-duanya itu, semuanya malah terbengkalai. Sekolah tidak becus, kerja juga kacau.”
“Jangan keras kepala, Tita! Itu memang komitmen atas kondisi dan keadaan keluarga kamu. Lagian, mana ada sih orang yang sukses tanpa melalui perjuangan hidup!”
“Kelihatannya memang gampang, Wi. Tapi dalam prakteknya, ngelakonin kedua-duanya itu tidak gampang. Aku stres, tahu! Saban hari harus bangun jam empat subuh, bikin kue untuk dijual di pasar. Belum lagi kalau ada ulangan mendadak padahal semalam aku belum belajar karena kecapekan bantu Mama. Bagaimana aku tidak semaput di kelas, coba?! Makanya, aku harus memutuskan untuk berhenti sekolah sebelum kedua-duanya berantakan.”
Dewi mendengus. Nyaris berputus asa. Tita terlalu teguh untuk dikasih pengertian bijak. Hatinya masih sebeku es di Benua Antartika. Masih bersikukuh dengan keputusannya untuk tidak melanjutkan sekolah.
“Hei, Garfield Si Mata Ngantuk! Aku tuh bosan bikin kamu sadar!”
Tita menundukkan kepala. Menelan dengan susah payah ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. Hatinya sakit. Lebih sakit ketimbang saat teman-temannya meledeknya ‘Garfield Si Mata Ngantuk’ di sekolah. Sekarang bahkan Dewi pun sudah memanggilnya dengan julukan yang telah dikutuknya selama dua tahun.
“Pokoknya aku harus berhenti sekolah!”
Tita sudah tak dapat menahan emosinya. Ia menjerit dan mengentakkan kakinya di tanah setelah berdiri dari duduknya.
“Ya sudah. Berhenti saja. Aku nyesal datang ke rumah kamu ini bila sedikit pun nasehatku tidak ditanggapi!”
Dewi berdiri dari duduknya di bangku kayu pekarangan belakang rumah separo gubuk Tita. Hendak melangkah pulang setelah memutar tumit seratus enam puluh derajat. Tapi langkahnya yang setindak tertahan oleh sebuah cekalan. Ia berpaling. Dan mendapati tatapan sepasang mata telaga yang telah mengeluarkan airmata. Hatinya trenyuh.
“Maaf, Wi. Bukan maksud aku....”
“Mungkin aku yang salah, Ta. Seharusnya aku tuh tidak mengintervensi hidup kamu. Seharusnya aku tidak mencampuri urusan kamu yang lebih memilih meninggalkan sekolah demi bantu-bantu Mama kamu. Sori, aku yang terlalu nyinyir!”
“Ti-tidak, Wi. Kamu tidak salah. Aku yang salah karena terlalu keras kepala. Jujur, aku memang minder dan rendah diri. Setelah kejadian siang tadi di kelas, rasanya aku terpukul banget. Aku tidak sanggup lagi menahan diri untuk tetap bersikap tegar di hadapan teman-teman sekelas. Sebetulnya aku rapuh, Wi. Aku lemah. Lagipula, semua teman sekelas seperti memusuhi aku. Padahal, bukan sengaja aku tertidur di kelas. Bukan kesalahan aku kalau setiap hari semaput setelah bekerja keras bantu-bantu Mama. Aku sebetulnya pingin hidup normal layaknya siswa lain yang kerjanya hanya belajar dan sekolah. Tapi, mana boleh aku berpangku tangan sementara Mama banting-tulang demi sesuap nasi buat keluarga. Makanya....”
Tita terisak. Bahunya berguncang keras. Dewi merangkul sahabatnya itu. Berusaha menenangkannya dengan membelai-belai rambutnya yang mayang. Ia sadar setelah kejadian siang tadi di kelas, gadis itu sangat terpukul. Ia malu. Malu diperlakukan tidak fair begitu sebelum mereka semua tahu duduk persoalannya.
“Sudahlah, Ta. Jangan nangis bombay begitu, dong. Kan masih ada aku yang akan selalu membantu dan membela kamu. So, tunjukin dong kalau kamu tuh gadis yang paling tegar sedunia! Oke?”
Tita mengangkat wajah setelah sedari tadi menunduk. Ia mengangguk, lalu tersenyum penuh makna sebagai balasan. Sepasang mata telaganya kini telah beriak indah. Meronakan semangat dalam menjelang hari-hari yang panjang dan melelahkan.
Karena ia sadar, sesungguhnya hidup ini memang penuh dengan perjuangan!